Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Dari Ubi ke Mie Instan: Krisis Identitas di Tanah Meeuwodidee

Dari Ubi ke Mie Instan: Krisis Identitas di Tanah Meeuwodidee

Dari Ubi ke Mie Instan
Foto Bersama usai kegiatan seminar di Aula Koteka Moge Gereja Katolik St. Maria Imaculata Moanemani Dogiyai, Selasa, 28 Oktober 2025. (Dok. Yapkema).

“Kita sedang dijajah lewat perut. Kalau dulu masyarakat Suku Mee hidup dari hasil bumi sendiri, sekarang kita tergantung pada barang-barang dari luar. Ini bukan hanya soal selera, tapi ada kepentingan ekonomi dan politik di baliknya.”

NABIRE, Yapkema.id – Di banyak rumah dan kios di Dogiyai, pemandangan anak-anak makan mie instan sudah jadi hal biasa. Murah, cepat, dan gampang disiapkan. Tapi di balik rasa gurih yang menggoda itu, ada bahaya yang perlahan-lahan merusak tubuh generasi muda Papua.

Kekhawatiran itulah salah satunya yang mendorong Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) Papua menggelar Seminar Kesehatan bertema “Bahaya Makanan dan Minuman Instan bagi Generasi Papua” pada tanggal 28 Oktober 2025 di Aula Koteka Moge, Gereja Katolik Santa Maria Imaculata, Moanemani, Kabupaten Dogiyai.

Tiga pemateri dihadirkan dalam kegiatan ini: Lidia Adii, S.Kep., Ners., M.Kes., dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dogiyai; Marius Goo, S.S., M.Fil., dari Sekolah Tinggi Kateketik (STK) Touye Papua, Deiyai; dan Yohanes Giyai dari Green Papua. Mereka bersama mengulas krisis pangan dan pergeseran budaya makan masyarakat Suku Mee dari tiga perspektif: kesehatan, budaya, dan politik ekonomi.

Bahaya Makanan Instan Mulai Terasa Dampaknya

Dalam pemaparannya, Lidia Adii mengulas gambaran besar tentang kebiasaan baru generasi muda yang mengandalkan mie instan dan makanan pabrikan sebagai makanan utama.

Narasumber pertama, ibu Lidia Adii, saat memaparkan materi di depan peserta seminar. (Dok. Yapkema).
Narasumber pertama, ibu Lidia Adii, saat memaparkan materi di depan peserta seminar. (Dok. Yapkema).

Menurutnya, perubahan pola makan itu mulai menimbulkan dampak nyata di masyarakat. Di usia muda, banyak warga kini mengidap penyakit yang dulunya hanya menyerang orang tua.

“Kalau kita lihat data di Puskesmas, sekarang banyak pasien muda datang dengan penyakit dalam. Ini karena pola makan yang salah,” jelasnya.

Lidia Adii mengajak masyarakat kembali mengonsumsi pangan lokal seperti petatas, keladi, singkong, dan ikan air tawar yang terbukti lebih bergizi dan sesuai dengan tubuh orang Papua.

“Itu makanan sehat, bergizi, dan cocok untuk tubuh orang Papua,” tambahnya.

Peserta seminar yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, Mama-mama dampingan Yapkema dan pemuda-pemudi beberapa denominasi gereja di Moanemani antusias. Banyak dari mereka kaget saat Lidia menunjukkan contoh minuman energi dan menjelaskan zat berbahayanya.

“Kalau minuman energi itu, zatnya keras. Kalau sering minum, bisa rusak ginjal,” jelasnya sambil menunjuk botol minuman dari kios.

Eksistensi Pangan Lokal: Identitas dan Spiritualitas yang Mulai Hilang

Pemateri kedua, Marius Goo, dosen STK Touye Papua, membawa pembahasan lebih dalam dari sisi budaya dan spiritualitas. Menurutnya, pangan lokal bukan hanya soal perut, tapi menyangkut identitas, moral, dan iman orang Papua.

Narasumber kedua, Marius Goo, saat penyampaian materi di depan peserta seminar. (Dok. Yapkema).
Narasumber kedua, Marius Goo, saat penyampaian materi di depan peserta seminar. (Dok. Yapkema).

“Eksistensi berarti bukan hanya sekadar ‘ada’, tapi memahami makna dari keberadaan itu. Kita manusia diciptakan dengan suatu tujuan, tapi sekarang kita kehilangan nilai dan iman karena makan dan minum sembarangan,” ujarnya.

Baca Juga : YAPKEMA dan STT Walter Post Bergandeng Tangan Cegah HIV/AIDS di Kalangan Muda Papua

Marius menegaskan bahwa dalam budaya Papua, makanan memiliki dimensi adat dan spiritual yang kuat. Tidak semua makanan bisa dimakan sembarangan, karena ada aturan adat yang mengatur keseimbangan hidup manusia dengan alam.

“Pangan lokal bukan hanya kebiasaan, tapi bagian dari hukum adat dan tatanan kehidupan. Alam Papua adalah wadah kehidupan, baik dari tanah, gunung, sungai, hingga danau. Semua menyediakan makanan yang melimpah,” katanya.

Goo menegaskan, meninggalkan pangan lokal berarti juga meninggalkan relasi spiritual dengan tanah dan alam yang menjadi sumber kehidupan.

“Tanah Papua adalah tanah kudus, tempat tumbuhnya makanan lokal yang suci dan penuh berkah. Karena itu, jangan jual, apalagi merusak, atau membakar tanah ini. Di sanalah kehidupan dan keselamatan kita tumbuh,” tegasnya.

Marius juga memperingatkan tentang munculnya mentalitas instan yang kini menggerogoti generasi muda.

“Banyak orang tidak mau lagi menanam di kebun, tidak mau bekerja, hanya ingin semuanya cepat. Padahal Tuhan bekerja melalui proses. Maka manusia pun harus berproses,” ujarnya.

Baginya, kembali ke pangan lokal bukan hanya soal makan sehat, tetapi soal membangun karakter, iman, dan martabat manusia Papua. Dengan demikian, Marius Goo menyimpulkan bahwa dengan mengkonsumsi manan asli (Pokok) maka akan disebut jadi manusia asli, sebalinya makan manakan instan akan menjadi manusia instan.

“Makan makanan asli, jadi manusia asli. Makan makanan instan jadi manusia instan,” katanya Goo mengakhiri penyampaian materinya.

Penjajahan Lewat Perut: Pergeseran Pola Konsumsi Suku Mee

Sementara itu, Yohanes Giyai dari Green Papua mengupas persoalan pangan dari sudut pandang politik ekonomi. Giyai menilai bahwa pergeseran pola konsumsi masyarakat Suku Mee dari pangan lokal ke makanan industri adalah bentuk baru penjajahan.

Narasumber ketiga, Yohanes Giyai saat menyampaikan materi di depan peserta seminar. (Dok. Yapkema).
Narasumber ketiga, Yohanes Giyai saat menyampaikan materi di depan peserta seminar. (Dok. Yapkema).

“Kita sedang dijajah lewat perut. Kalau dulu masyarakat Suku Mee hidup dari hasil bumi sendiri, sekarang kita tergantung pada barang-barang dari luar. Ini bukan hanya soal selera, tapi ada kepentingan ekonomi dan politik di baliknya,” tegasnya.

Ia menyebut fenomena itu sebagai gastro-colonialisme (penjajahan melalui sistem konsumsi makanan). Menurut Yohanes, sebelum tahun 1963, masyarakat Mee memiliki sistem pangan yang berdaulat dan mandiri. Tapi setelah integrasi Papua ke Indonesia, berbagai proyek pembangunan dan operasi militer mengguncang struktur ekonomi tradisional itu.

“Operasi militer membuat orang takut ke kebun. Mereka akhirnya tergantung pada bantuan dan makanan dari luar. Di situ kita lihat bagaimana eksplorasi sumber daya alam dan operasi militer berjalan beriringan,” jelasnya.

Kata Giyai, situasi ini menimbulkan ketergantungan ekonomi yang mendalam, di mana masyarakat kehilangan kedaulatan atas sumber kehidupannya sendiri.

“Pergeseran pola konsumsi ini bagian dari penjajahan baru. Kita tidak sadar bahwa makanan yang kita konsumsi setiap hari adalah bagian dari sistem yang menundukkan kita secara halus,” ujarnya.

Sebagai solusi, Yohanes menyerukan agar masyarakat Mee dan seluruh orang Papua kembali membangun sistem pangan berbasis kearifan lokal.

“Kalau kita ingin berdaulat, kita harus pulihkan pangan lokal, kembalikan kebun, dan bangun ekonomi dari bawah sesuai cara hidup orang Mee,” tutupnya.

Pojok Literasi untuk Penggiat Literasi

Yapkema juga menyediakan ruang untuk penggiat literasi di Dogiyai menjual buku bacaan pada kegiatan seminar tersebut. Meja khusus untuk menjual buku diletakkan di depan, samping kanan pintu masuk ruangan Aula Koteka Moge, bersebelahan dengan meja registrasi. Ini memungkinkan peserta seminar yang masuk atau keluar untuk melihat-lihat buku bacaan dengan beragam genre, seperti buku cerpen, novel, buku pengembangan diri, hingga buku sosial dan humaniora.

Beberapa perempuan peserta seminar sedang melihat-lihat buku yang dijual di sela-sela kegiatan. (Dok. Yapkema).
Beberapa perempuan peserta seminar sedang melihat-lihat buku yang dijual di sela-sela kegiatan. (Dok. Yapkema).

Beberapa anak muda-mudi yang menjadi peserta seminar bahkan membawa bukunya sendiri untuk dijual, sehingga tercipta suasana yang mendukung bagi penggiat literasi dan pembaca buku. Ini adalah bentuk komitmen dan model bahwa Yapkema tidak hanya mau fokus pada seminar kesehatan, tetapi juga ingin mempromosikan literasi dan budaya membaca di kalangan masyarakat Dogiyai.

MOBU: Kepuasan Makan Bersama dengan Makanan Lokal

Di tengah-tengah kegiatan seminar, hidangan snack yang disajikan adalah donat dari ubi buatan mama-mama dampingan Yapkema, kacang tanah, dan pisang rebus. Makanan beratnya adalah ubi rebus, sayur kukus, dan ikan danau Paniai. Semua bahan-bahan tersebut dibelanjakan kepada mama-mama, termasuk ikan segar dari Danau Tigi yang dibeli dari mama-mama nelayan tradisional di Deiyai, serta sayur dan nota yang dibelanjakan dari mama-mama di Pasar Moanemani.

Suasana saat menyantap makanan siang usai kegiatan seminar. (Dok. Yapkema).
Suasana saat menyantap makanan siang usai kegiatan seminar. (Dok. Yapkema).

Setelah kegiatan selesai, kursi-kursi yang dipakai duduk peserta seminar disimpan di pojok, lantai disapu, dan para panitia tim Yapkema, narasumber, dan para peserta seminar duduk melingkar. Semua setara duduk di lantai dan makan bersama. Di hadapan mereka dihamparkan kertas minyak, lalu di atas itu dibagikan ubi, sayur kukus, ikan kukus, dan sambal. Semua makan dengan suasana yang khidmat.

Baca Juga : Ketika Tanah Moyang Diatur Negara

Yapkema ingin mengingatkan bahwa setiap kegiatan, tidak perlu selalu memesan makanan dari luar, yang hanya menguntungkan pihak luar. Sebaliknya, kita bisa membeli makanan lokal yang melimpah dari mama-mama kita, untuk mendukung perekonomian mereka. Dengan mengolah, memasak, dan makan bersama, kita dapat merasakan kepuasan yang lebih dalam, bukan hanya puas perut, tetapi juga ada rasa puas di hati, yang dalam Bahasa Mee disebut “MOBU” (maa mobu, dimi mobu – kenyang fisik, ada rasa puas), rang artinya kenyang fisik dan ada rasa puas. (*)

Kesimpulan: Dari Piring ke Identitas

Seminar di Moanemani ini menegaskan satu pesan besar: persoalan makanan bukan hanya urusan dapur, tetapi juga urusan hidup, iman, dan masa depan bangsa Papua. Dari bahaya kimia dalam mie instan hingga hilangnya makna spiritual dalam pangan lokal, para pembicara mengingatkan bahwa krisis pangan lokal berarti juga krisis jati diri.

“Jangan hanya makan mie,” kata Lidia Adii dengan nada lembut tapi tegas dan “Mari makan makanan asli,” kata Marius dan untuk hentikan “penjajahan melalui sistem konsumsi makanan,” sebagaimana kata Yohanes Giyai. Kalimat-kalimat ini tentunya sangat sederhana yang jika direnungkan secara baik dan mendalam akan menjadi seruan besar bagi seluruh generasi muda Papua untuk kembali menanam, memasak, dan hidup dari tanah sendiri.

Sementara itu, dari mewakili tokoh Agama Katolik, Siorus Degei mengingatkan bahwa menjaga tubuh yang sehat adalah bagian dari kehidupan iman. “Kalau tubuh sehat, kita bisa layani Tuhan dan sesama dengan baik. Maka jaga makan juga bagian dari doa,” katanya. (*)

Oleh : Agustina C. Doo/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *