Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Anak-anak Pengungsian, Dalam Sebungkus Rokok dan Mie Instan Mentah

Anak-anak Pengungsian, Dalam Sebungkus Rokok dan Mie Instan Mentah

Anak-anak pengungsi Gome dan Gome Utara sedang berkumpul di posko utama (Mis Murib/Yapkema)
Anak-anak pengungsi Gome dan Gome Utara sedang berkumpul di posko utama (Mis Murib/Yapkema)

“Bukan karena tidak peduli terhadap anak-anak, tetapi beban hidup sudah melebihi kemampuan mereka”

Sering saya bertanya pada diri sendiri, apa salah anak-anak kita sehingga mereka terpaksa mengungsi, terkondisikan tumbuh dalam situasi dan lingkungan tanpa kasih sayang dan harapan?

Hidup hanya dari satu tenda ke tenda yang lain sambil mengunyah mie instan dan menghembuskan asap rokok yang entah dari mana ia dapatkan. Kepala saya sakit oleh pertanyaan yang tidak sanggup saya jawab ini.

***

Datangnya pasukan TNI untuk memburu anggota TPN OPM telah menggali jurang bagi anak-anak dan pelajar di Kabupaten Puncak. Mereka lah yang jatuh tersangkut ke dalam jurang itu, dan hidup dalam dilema antara meraih masa depan di atas bibir jurang atau terperosok hidup di dalam pengungsian.

Pagi, sekitar pukul 09.30 di hari ke-17 bulan Juli, 2025, udara dingin menusuk menyerang saya di Gome, Puncak. Saya menumpang di salah satu rumah warga yang dihuni oleh 4 kepala keluarga dengan 5 orang anak-anak mereka. Salah seorang kepala keluarga itu adalah pemilik rumah. Sedangkan 3 kepala keluarga lainnya pengungsi dari Distrik Gome Utara, yang terpaksa angkat kaki dari kampung mereka akibat operasi militer 22 Mei 2025.

Hawa dingin seperti menggerogoti tubuh saya dari dalam. Saya bungkus rapat seluruh tubuh dengan selimut tebal yang sempat diberikan tuan rumah, sekalipun dalam kekurangannya. Ketika itu saya duduk di dapur, persis di depan tungku api. Saya mulai meraba kayu bakar yang orang tua biasa meletakkannya di tempat khusus di atas tungku api.

Baca Juga : Fenomena Miras di Enarotali Sudah Mengancam Hubungan Sosial

Saya ambil dua batang kayu bakar, meletakkannya di atas arang api. Api pun membara, membagikan kehangatannya. Di sekitar tungku dan dapur beberapa orang Mama ikut duduk. Sembari duduk-duduk saya mencoba  memecah kesunyian dengan bertanya hal-hal seputar penyebab Mama-mama mereka mengungsi.

“Mama, kemarin yang kasih bunyi senjata itu dari mana, OPM kah atau TNI?” tanya saya mencoba merekonstruksi situasi yang memicu mereka mengungsi.

Mama menarik nafas, walau terasa berat untuk menjawab bamun dengan lirih dia bilang: “Anak, yang kasih bunyi senjata itu tentara, mereka operasi gabungan dari Toanggi naik ke Kugibur” ujarnya. Kugibur, adalah nama sebuah bukit.

Lalu cerita pun mengalir dari satu ke yang lain, tetap dalam lirih. “Anak, waktu itu OPM sudah tidak ada, mereka sudah pindah ke tempat lain. Tapi TNI datang cukup banyak lalu operasi, kasih bunyi senjata tembak kiri kanan. Mereka juga jalan bakar rumah, 2 helikopter juga mereka pakai, arahkan peluru ke rumah-rumah warga sekitar Gome Utara,” ujarnya.

Saat saya ingin bertanya lebih lanjut, cerita kami terhenti ketika tiba-tiba ada 6 orang anak, berusia sekitar 8–10 tahun masuk ke ruang dapur tanpa permisi. Tidak ada salam ataupun sapa.

Dari 6 anak itu, saya lihat 3 orang dari mereka memegang gawai, 1 anak memegang satu bungkus rokok Surya, dan 2 lainnya menggenggam mi instan soto sambil mengunyahnya mentah-mentah.

Anak-anak pengungsi di Gome, "Kami habis beli mi di Pasar Jenggernok, Gome" (Mis Murib/Yapkema)

Saya sontak bertanya: “Kalian dari mana?”

“Kami habis beli mi di Pasar Gome, (Jenggernok),” kata mereka bersamaan.

Lalu saya lanjut bertanya: “Kalian tinggal di mana?”

Salah seorang bilang: “Saya pengungsi dari Omukia, tinggal di tenda dekat Jembatan Putus.” Jembatan Putus adalah nama sebuah alamat di Gome. Ada lagi yang bilang: “Saya tinggal di tenda dekat rumah Ketua DPRK Puncak, di Gome.” Ada pula yang menyahut tinggal dengan keluarga di Gome bersama pengungsi-pengungsi lainnya.

Lalu saya perhatikan keenam anak ini begitu santainya masuk
ke dapur rumah ini, tanpa permisi, tanpa bicara apapun. Tiga anak sedang
tenggelam bermain HP mereka, satu di antaranya santai tarik rokok bermerek
Surya, dua orang lainnya asyik mengunyah mi instan. Sesekali mereka saling
bercerita menggunakan bahasa ibunya, bahasa Damal, yang saya tidak tahu entah
cerita apa.

Saya lalu mencoba mengusik keasyikan mereka ini.
“Kalian sekolah kah tidak?”

Semua diam membisu. Mungkin bingung  menjawab apa, atau takut mengungkapkan
peristiwa yang mereka alami.

Saya bertanya sekali lagi: “Di sini siapa yang sekolah?”

Akhirnya satu anak pengungsi dari Omukia angkat bicara:
“Saya punya sekolah SD dibakar, jadi kami tidak bisa sekolah.”

“Siapa yang bakar?” tanya saya.

Anak itu spontan menjawab: “OPM yang bakar sekolah karena
tentara (TNI) biasa tinggal di sekolah kami.”

Saya masih ingin bertanya atau cerita lebih lajut, tetapi mereka sepertinya mulai takut lalu hambur lari keluar.

Baca Juga : Kisah Waganak, Pengungsi Difabel dari Gome, Ilaga

***

Enam anak ini adalah potret tanpa filter kehidupan di pengungsian. Tak ada lagi kontrol dari orang tua mereka. Kondisi orang tua yang juga berada di tanah pengungsian, sambil memikul beban persoalan ekonomi, rumah yang hangus dibakar, kebun yang tak lagi bisa dikerjakan, ternak yang terhambur hingga menjadi liar, dan seterusnya.

Anak-anak ini terpaksa tumbuh dengan sendirinya, dianggap bisa berjalan mencari makan sendiri, dibiarkan tanpa terurus.

Lalu bagaimana mereka tumbuh kembang tanpa perlindungan orang tua kandung, besar dalam lingkungan penuh beban persoalan masing-masing? Siapa yang harus mengurusi pendidikan mereka? Dan sejumlah pertanyaan lainnya yang semakin problematik menggerayangi saraf-saraf pikiran saya.

Enam anak ini seakan-akan datang di pagi yang dingin itu untuk memberitahu saya: beginilah hidup kami, anak-anak di tanah pengungsian ini.

Hanya dua minggu saya menumpang menginap bersama para pengungsi di Gome, tetapi rasanya seperti berbulan karena persoalan-persoalan harian datang bertubi-tubi., termasuk persoalan putusnya masa depan anak-anak ini dalam pendidikan.

Para pengungsi hidup sehari-hari di tenda-tenda yang diisi mulai dari 90 orang hingga 150 orang. Selebihnya tinggal bersama warga sekitar.

Pernahkan anda membayangkan bagaimana tinggal di pengungsian sehari-hari, tanpa batas waktu? Bagaimana makan setiap hari? Darimana air bersih didapat? Bagaimana tidur bisa nyenyak? Bagaimana dengan bayi-bayi yang memiliki kebutuhan lain? Mama-mama yang mengandung? Anak-anak yang tidak sekolah. Bagaimana nasib mereka ini ke depan?

Satu kali saya bertanya kepada salah seorang hamba Tuhan. “Bapa, anak-anak ini sekolah bagaimana? Apakah orang tua mereka ada yang mengurusi untuk sekolah di kota Kagago?”

Hamba Tuhan menjawab: “Kami punya anak-anak sudah tidak bisa sekolah, siapa yang mau urus mereka? Pemerintah saja hanya janji-janji terus untuk kembalikan kami ke kampung halaman, nyatanya belum juga,” katanya.

Dia melanjutkan, orang tua mereka mau urus anak-anaknya, tapi banyak masalah yang dihadapi, mulai dari internal keluarga, masalah makan minum dalam satu tenda, ditambah beban pikiran atas kerugian materil akibat operasi militer. Tentu, sebagai manusia, mereka punya batas kesabaran, kesadaran, dalam kondisi psikologis traumatis sehingga tak mampu menanggung semua beban.

“Bukan karena tidak peduli terhadap anak-anak, tetapi beban hidup ini sudah melebihi kemampuan mereka,” ucapnya lirih.

Anak-anak negeri ini berasal dari enam Distrik yakni Pogoma, Sinak barat, Yugumuak, Oneri, Gome, Gome utara, dan Omukia. Mereka sudah mengungsi sejak bulan Februari 2025 dan hingga saat ini belum ada kejelasan bagaimana nasib pendidikan mereka.

Inilah wajah sebagian Generasi Emas Papua yang seharusnya mendapat prioritas tanpa alasan, terutama dari pihak pemerintah.

Bukankah menyelamatkan satu anak sama dengan menyelamatkan satu bangsa, Papua?

Cerita ini saya tulis dalam pedih. Karena saya adalah bagian dari mereka, sekalipun saya datang bersama Tim Investigasi Kemanusiaan untuk melakukan investigasi peristiwa pengungsian ini. Kami melakukan awancara, pengamatan, dan dialog bersama pengungsi dan anak-anak di Kabupaten Puncak.

Harapan saya melalui tulisan-tulisan kecil ini dapat mengungkapkan persoalan-persoalan hidup para pengungsi dan anak-anak putus sekolah akibat konflik bersenjata. Dan turut membawa pembaca untuk ikut merasakan, dan menaruu empati, kepedulian dan solidaritasnya.

Dan harapan terbesar saya pada akhirnya, hal ini dapat tersampaikan kepada Bapak Gubernur Papua Tengah.

*Catatan di pengungsian oleh Mis Murib/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *