Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Kisah Waganak, Pengungsi Difabel dari Gome, Ilaga

Kisah Waganak, Pengungsi Difabel dari Gome, Ilaga

Saat Waganak berjabat tangan, di Gome. (Dok. Yones Magai)
Saat Waganak berjabat tangan, di Gome. (Dok. Yones Magai)
“Setiap pagi, Waganak bersama istrinya kadang kala berdebat soal alat dapur, kadang pula masalah melebar ke konteks lain (tapi itu soal biasa, katanya). Kami juga sering mendengar istri Waganak selalu berdoa pada pukul 05.30. Doanya tentang harapan pulang ke kampung halaman, penarikan pendropan militer, dan persoalan ekonomi di tanah pengungsi.”

Sebuah kisah seorang warga sipil penyandang difabilitas yang mengalami banyak persoalan hidup, ditambah lagi mengalami pengungsian dari tempat asalnya akibat operasi militer oleh TNI-POLRI. Khalayak masyarakat mungkin saja belum mengetahui kondisi ekstrim dalam kehidupannya. Waganak menyimpan semua luka itu dan mencoba berusaha hidup seperti tak ada masalah.

Waganak (nama panggilan) berusia 52 tahun merupakan salah satu warga sipil dari Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Waganak memiliki satu istri dan 2 orang anak. Waganak juga seorang petani menafkahi keluarga hasil dari kerja keras di kebun. Waganak semasa muda (usia produktif) dan badan masih normal, dikenal luas karena pekerja keras yang gigih. Ia selalu bekerja lahan kebun yang besar lalu perbagi bersama masyarakat/tetangganya.

Ia juga aktif di Gereja. Kegiatan besar kecil yang diadakan oleh organisasi Gereja, ia merupakan salah satu jemaat yang tak pernah hindari. Waganak juga memiliki kasih yang besar tanpa memandang bulu. Siapapun yang melewati di depan rumahnya, ia memanggil masuk ke dalam rumahnya untuk menikmati hidangan apa saja yang telah disiapkan.

Waganak saat memasuki usia 48 tahun (diperkirakan), mengalami kecelakaan fatal. Seluruh tubuhnya terbakar bersama api, sehingga jari-jari tangan dan kaki terbakar habis. Jari-jari tangan menggenggam permanen saat terbakar sehingga jari-jari tangan susah untuk terbuka. Kedua kaki sisi telapak hingga jari-jari-nya terbakar habis, tersisah hanya tumit, mata kaki hingga betis, dan tubuh lainnya.

Di saat kecelakaan itu, istri Waganak mencobah untuk menggantikan posisi suaminya bekerja kebun, mencari kayu bakar, hingga segala urusan rumah tangga sepenuhnya ditanggung. Banyak persoalan internal keluarga terus bertubi-tubi berganti, namun Waganak bersama keluarga menjalani hidup seperti masyarakat lainnya.

Pada 22 Mei 2025, aparat gabungan TNI-POLRI melakukan operasi militer di wilayah Gome utara dengan dalih untuk perlindungan warga dan pemberantasan OPM. Dalam operasi tersebut, telah menewaskan Agus Murib yang merupakan warga sipil, sewaktu bersama istrinya saat hendak mengambil sayur di kebunya. Usai itu, pada tanggal 23 Mei 2025, aparat gabungan mulai memasuki wilayah-wilayah sipil untuk operasi melalui udara dan darat. Dalam operasi tersebut, telah menewaskan Sole Mosip dan sejumlah rumah dibakar habis, serta masyarakat sipil mengungsi, di antaranya adalah Waganak. Hanya Waganak, dan nama Waganak di antara pengungsi menjadi kisah yang cukup menyedihkan.

Ketika peluru senpi menyasar kiri kanan warga, helikopter terus mengudara membawa sejumlah personel memboncengi bom mortir, ditambah lagi ratusan personel dengan sigap melakukan operasi. Di posisi ini, Waganak hanya punya dua pilihan: lari untuk menyelamatkan diri atau tinggal untuk dibunuh.

Seorang penyandang difabilitas, tentu kita memahami posisi itu dan situasi yang Waganak alami saat operasi berlangsung. Waganak mencobah untuk berlari, namun kaki tak mampu karena hanya bisa jinjit dengan tumit. Tangan untuk merangkul barang benda miliknya pun tidak bisa sebab jari-jari tangan sudah tidak ada. Yang ada hanya telapak tangan yang sudah membungkuk permanen sehingga tidak bisa dibuka. Waganak bersama keluarganya mengungsi ke Distrik Gome. Mereka disambut baik oleh keluarga (warga) yang berada di Distrik Gome. Waganak diberikan satu kamar bersama keluarganya tinggal selama mengungsi. Mereka menumpang di satu rumah 8 orang (tak termasuk anak-anak), hidup dengan sembako (mie, beras, gula dan kopi), bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh Gereja, pemerintah, mahasiswa, aktivis, dan solidaritas pengungsi untuk Puncak.

Ketika kami (Tim Investigasi) menginap selama 2 hari bersama mereka, kami melihat, merasahkan, dan mendengar langsung berbagai kisah, persoalan hidup, dan harapan mereka. Kami bertanya, “Bagaimana rasanya tinggal di tanah pengungsi?” Waganak tersenyum tipis, namun air mata menutupi kelopak matanya, sedikit lagi meneteskan. Kami sedih dan takut untuk bertanya lagi. Waganak memulai menjawab dengan suara nyaring, katanya, “Kami tidak bisa ke kebun ambil sayur dan makanan, kayu bakar. Kami merasa ini bukan kehidupan, Waganak. Sepertinya kami sudah mendekati kematian.” Ungkap Waganak.

Waganak lanjut bercerita, “Tentara larang kami ke kebun, larang kami berambut gimbal, jenggot tebal. Kami rasa macam kami seperti binatang. Kami rasa macam kami pendatang di negeri ini. Kita tinggal satu rumah ini banyak orang anak, jadi tidak cukup hidup dengan hasil bantuan saja. Kami harus ke kebun ambil makan supaya kami bisa hidup. Bantuan ini di sisi lain membuat kami malas berkebun (menciptakan ketergantungan hidup), jadi susah juga kalo tentara larang kami terus,” tegasnya.

Setiap pagi, Waganak bersama istrinya kadang kala berdebat soal alat dapur, kadang pula masalah melebar ke konteks lain (tapi itu soal biasa, katanya). Kami juga sering mendengar istri Waganak selalu berdoa pada pukul 05.30. Doanya tentang harapan pulang ke kampung halaman, penarikan pendropan militer, dan persoalan ekonomi di tanah pengungsi.

Waganak keseringan sakit, apalagi penyandang difabilitas dalam kondisi pengungsian mudah sekali mengalami kesakitan karena banyak beban pikiran (hidup). Di posisi ini, pasokan obat-obatan juga tidak ada di Puskesmas Gome dari Dinas Kesehatan. Kadang ada, tapi kadang tidak ada.

Pada hari kedua kami (Tim Investigasi) menginap bersama mereka, di situ kami bertanya, “Apakah Bapa Waganak pengen pulang?” Waganak menjawab, “Kami pengen sekali ke kampung halaman, tapi kami takut karena tentara banyak sekali yang bersembunyi di hutan-hutan dekat rumah kami. Kami hanya tunggu perintah Bupati untuk penarikan tentara dan suruh kami kembali.”

Di posisi ini, kita bisa memahami bahwa harapan masyarakat pengungsi berharap pemerintah (Bupati) setempat didesak untuk melakukan koordinasi bersama pemerintah pusat untuk penarikan TNI dan kembalikan masyarakat ke kampung halaman (tanah leluhur) mereka sendiri.

Pertanyaannya, apakah pemerintah dan Lembaga DPRK Kabupaten Puncak sedang berusaha/berupaya untuk penarikan pendropan militer? Kembalikan para pengungsi, yang notabenenya rakyat mereka sendiri, kembali ke kampung halaman dalam keadaan aman-aman atau tidak? Ini sebuah pertanyaan sederhana, tetapi bagi siapa pun sulit untuk menjawab. Apalagi pemerintah dengan tingkat pengetahuan yang rendah tak cukup untuk mencerna dan pasti sulit untuk menjawab.

Tulisan ini menjelaskan kondisi masyarakat penyandang difabilitas di tanah pengungsi, namun masih banyak warga penyandang yang tidak diketahui oleh khalayak. Mereka sedang menikmati hidup dengan tantangan kehidupan yang luar biasa. Tempat untuk mereka curhat, berbagi pengalaman, juga terbungkam oleh aparat.

Harapan kami, semoga melalui tulisan sederhana ini, menjelaskan kondisi fisik, psikis, sosial, dan ekonomi para pengungsi sehingga para pemangku kepentingan dapat melihat, merasakan, dan bertindak untuk menyelamatkan mereka. “Mereka adalah tuan di negeri ini. Mereka adalah masyarakat Bapak Gubernur Papua Tengah dan Bupati Kabupaten Puncak. Mereka adalah makhluk sosial/manusia seperti kita.”

*Catatan di pengungsian oleh Mis Murib/Yapkema


Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *