
Mundina Wakerkwa (35 tahun) adalah sala satu warga sipil yang berasal dari Distrik Omukia, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Mundina mengungsi saat anak bayinya berusia 8 bulan. Pengungsian sejumlah masyarakat sipil ini bertolak dari fenomena operasi militer oleh TNI di wilayah sipil, yakni Omukia, Gome, Gome Utara, dan sekitarnya.
Mundina sala satu warga yang awam dengan bunyi tembakan, pengeboman, dan bunyi helikopter mengudara. Ini adalah sebuah perasaan yang dihantui ketakutan, sehingga apa pun bisa dilakukan untuk mencari keselamatan. Hal ekstrem, misal membuang anak untuk melindungi diri atau meninggalkan segala harta demi melindungi anak dan dirinya, bisa saja terjadi.
Mundina berusaha melarikan diri tanpa memikirkan nasib suami, anak-anak yang lain, serta harta benda termasuk rumah. Di benaknya hanya ada satu hal: “keselamatan bayi dan dirinya”. Ini adalah sebuah harapan terakhir dalam situasi itu. Saat melarikan diri, sebagian warga sipil ditembak dan rumah-rumah warga dibakar, termasuk rumah Mundina Wakerkwa. Dia hanya bisa membawa sehelai baju, celana, serta noken untuk membaringkan bayinya.
Saat Mundina berlarian sambil menoleh ke belakang, ia melihat sejumlah keluarga yang berkumis dan berambut gimbal melarikan diri ke hutan. Menurut mereka, berambut gimbal dan berjenggot panjang dianggap sebagai ciri OPM. Isu ini diwacanakan oleh aparat TNI untuk mengintimidasi warga sipil berdasarkan penampilan mereka.
Kedengarannya biasa, tetapi bagi mereka yang hidup apa adanya, rambut gimbal dan kumis tebal adalah identitas (jati diri). Menurut mereka, jika dicukur dengan alasan apa pun, kebebasan berekspresi telah dibungkam, diskriminasi akan tumbuh subur, dan kehilangan identitas kejiwaan ini akan mengganggu kesehatan mental dan psikologi.
Kembali ke cerita Mundina bersama anaknya. Saat ia tiba di Kagago (kota Ilaga), masyarakat yang telah mendahului sudah berkumpul dan berkerumun di kantor bupati. Terlihat ada dua pemuda (bermarga Murib dan Tenbak) yang sedang mengarahkan para pengungsi untuk berkumpul di halaman kantor Bupati Puncak.
Tiba-tiba, terdengar suara lantang dan sungguh keras dari dalam pintu kantor Sekda. Ternyata, Sekda sedang memarahi kedua pemuda yang mengarahkan masyarakat sipil itu. Katanya, “Kalian kenapa arahkan masyarakat ke kantor bupati? Ini bukan rumah atau kediaman Bupati, tidak boleh tampung masyarakat di sini.” (Ini sebuah kesaksian yang kami dengar dari masyarakat sipil, ungkap Mis).
Masyarakat kehilangan ide, trauma dan mencari perlindungan. Namun, masyarakat malah disambut dengan ucapan sinis dan mengacaukan situasi oleh pejabat Daerah. Ini kedengar menambah luka dan air mata, Ungkap salah satu warga yang ada saat itu.
Masyarakat kemudian diarahkan untuk berkumpul di satu tempat, lalu tokoh-tokoh gereja membagi mereka ke dalam beberapa kelompok. Disebutkan bahwa setiap kelompok akan diberikan bahan sembako dan tenda untuk masing-masing kelompok memasang. Sebanyak 12 tenda dibagikan menurut kelompok (sembako tidak diketahui). Masing-masing tenda diisi oleh 90-150 kepala keluarga. Ini tidak terhitung anak-anak, kalo bersama anak-anak mungkin jumlahnya lebih dari 200 orang per tenda.
Mundina mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru bersama anak bayinya. Baginya keselamatan anak adalah prioritas apapun yang ditimpah, menurutnya tak apa-apa asalkan nyawa tak melayang.
Setiap malam dan pagi, anak bayi Mundina menangis kedinginan. Tak ada selimut, pakaian hangat, ataupun jaket. Di saat itu pula ibunya merasa kelaparan dan haus air. Di tanah Pengungsi mata air jauh, ketersediaan air bersih minim. Bayinya terus menangis karena susah mendapatkan tempat untuk tidur, ditambah lagi dengan kerumunan orang yang selalu ribut berbicara dan bercerita.
Suami Mundina (ayah dari bayinya) bersama anak-anaknya yang lain tak kunjung datang. Mundina mulai merasa hidupnya sudah tidak ada harapan. Namun bagi Mundina, keselamatan anak bayinya adalah satu titik harapan, yang harus diperjuangkan dengan keras.
Menurut kesaksian Mundina, dirinya kadang menahan lapar, dingin, dan haus di tanah pengungsi. “Saya rinduh suami saya. Saya pengen pulang kembali ke kampung halaman” ungkapnya sambil menundukkan kepala dan meneteskan air mata.
Hampir semua masyarakat yang kami (Tim investigasi) kunjungi, masyarakat rinduh untuk kembali ke kampung halaman dan hidup seperti semula. Aparat Non-Organik kembalikan ke pusat demi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Rakyat bisa ada tanpa Pemerintah tapi pemerintah tak bisa ada tanpa rakyat. Untuk itu, Pemerintah harus memberikan perlindungan. Perlindungan rakyat adalah tanggung jawab prioritas pemerintah.
Cerita ini ditulis oleh Mis Murib, berdasarkan hasil wawancara, pengamatan, dan investigasi di lapangan (Kabupaten Puncak).
*Catatan di pengungsian oleh Mis Murib/Yapkema