“Saya pernah temani satu pasien gagal ginjal. Tiap hari dia minum minuman kemasan. Akhirnya ginjalnya rusak dan dia meninggal di depan saya. Itu kenyataan hidup kita sekarang,” ujarnya pelan.
NABIRE, Yapkema.id – Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) Papua menggelar Seminar Kesehatan bertajuk “Bahaya Makanan dan Minuman Instan bagi Generasi Papua” di Aula SKB Gereja Katolik Santo Yusuf, Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua Tengah pada 31 Oktober 2025.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu Sarce Datu, Amd.G., dari Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai, Yohanes Giyai dari Green Papua, dan Marselino Wegobi Pigai, pemerhati budaya pangan lokal.
Seminar ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya konsumsi makanan dan minuman instan yang kini mulai menggeser kebiasaan makan pangan lokal di kalangan masyarakat Papua, terutama generasi muda di Paniai.
Sesi Pertama: Bahaya Makanan dan Minuman Instan
Dalam sesi pertama, Sarce Datu memaparkan materi berjudul “Dampak Makanan Ringan dan Minuman Instan bagi Tubuh Generasi Papua.” Ibu Sarce Datu menegaskan makanan instan memiliki sifat merusak tubuh, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
“Makanan instan itu cepat disajikan, tapi kandungannya tidak baik bagi tubuh. Banyak pengawet, pewarna, dan perasa buatan yang membuat orang ketagihan. Padahal racunnya justru di situ. Bukan racun yang langsung mematikan, tapi pelan-pelan merusak tubuh,” ujar Sarce di hadapan peserta seminar.
Baca Juga : Dari Ubi ke Mie Instan: Krisis Identitas di Tanah Meeuwodidee
Menurutnya, makanan dan minuman instan merupakan produk olahan yang sengaja dibuat agar mudah disajikan dan tahan lama. Prosesnya melibatkan bahan-bahan seperti pengawet, pewarna, perasa buatan, serta kadar gula dan garam tinggi yang dapat menimbulkan ketergantungan untuk terus mengonsumsi.
“Memang makanan dan minuman instan itu praktis. Tidak perlu diolah lama, cukup disedu atau dipanaskan. Tapi di balik kemudahannya, ada bahaya besar bagi tubuh kita,” jelasnya.
Sarce mengingatkan masyarakat Paniai untuk bersyukur karena masih memiliki banyak bahan pangan alami yang sehat di sekitar mereka. Makanan instan, katanya, boleh saja dikonsumsi sesekali, tetapi tidak boleh menjadi makanan pokok.
“Saya tidak melarang jualan di kios, tapi jangan dikonsumsi banyak-banyak. Itu boleh untuk selingan, bukan untuk makanan utama,” katanya.
Ia mencontohkan makanan seperti nugget yang mengandung banyak pengawet, serta kopi instan yang sebaiknya diganti dengan kopi asli produk lokal.
“Kopi-kopi kemasan itu sudah mengandung pengawet dan kadar gula tinggi. Kalau mau sehat, minum kopi asli Paniai. Itu alami dan lebih baik untuk tubuh,” tambahnya.
Sarce juga menyoroti fenomena meningkatnya konsumsi mie instan di kalangan anak-anak Papua. “Anak-anak di sini paling senang super mie. Padahal itu tidak ada gizinya. Malah buat anak-anak jadi lemas, tidak semangat, dan sulit belajar karena nutrisi tubuh dan otaknya tidak terpenuhi,” ujarnya.
Perempuan kelahiran Deiyai itu juga menguraikan berbagai zat berbahaya yang terdapat dalam makanan instan seperti kalori dan lemak jenuh tinggi, pengawet, serta pewarna sintetis yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, obesitas, kolesterol, dan tekanan darah tinggi.
“Kopi instan dan super mie itu kalorinya tinggi, bikin gemuk, bikin jantung berdebar, bahkan bisa sebabkan diabetes dan hipertensi,” tegas Sarce.
Selain rendah serat, vitamin, dan mineral, makanan cepat saji dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan otak anak-anak. Kebiasaan makan yang salah berdampak langsung pada performa belajar.
“Banyak anak datang ke sekolah tanpa sarapan sehat. Orang tua terlalu sibuk, lalu kasih super mie karena cepat kenyang. Tapi itu tidak ada gizinya. Anak-anak jadi lemas, malas, dan sulit menerima pelajaran,” ujarnya.
Sarce juga memperingatkan bahaya jangka panjang bahan kimia tambahan seperti pengawet, pewarna, dan penguat rasa buatan yang bisa menyebabkan gangguan metabolisme dan kanker usus.
“Teman-teman saya waktu kecil suka makan super mie, sekarang banyak yang sakit. Penyakit itu tidak datang cepat, tapi perlahan tumbuh di dalam tubuh. Itu yang berbahaya,” katanya.
Contoh lain ia tunjukkan lewat minuman berwarna seperti Fanta. “Bapak ibu lihat saja, Fanta bikin lidah anak-anak merah. Itu bukan alami, tapi pewarna kimia. Begitu juga bumbu mie instan, lengket di tangan, apalagi di usus,” jelasnya.
Dalam pemaparan materinya, Ibu Sarce menjelaskan enam bahaya utama konsumsi mie instan berlebihan: 1) Gangguan pencernaan; 2) Diabetes; 3) Malnutrisi; 4) Tekanan darah tinggi; 5) Gangguan ginjal dan 6) Risiko penyakit kronis seperti kanker usus.
“Bukan cuma mie, tapi juga daging kemasan, rendang siap saji, dan makanan instan lainnya. Semua itu berbahaya kalau dikonsumsi terus-menerus,” tutupnya.
Akhir dari sesinya, Ibu Sarce Datu mengajak para orang tua untuk menjaga asupan makanan anak-anak dan menghidupkan kembali tradisi pangan sehat. “Marilah kita jaga anak-anak kita. Jangan belanja sembarang. Perhatikan apa yang mereka makan. Dengan begitu kita sudah menjaga generasi kita,” pesannya.
Sesi Kedua: Gastrokolonialisme dan Pergeseran Pola Pangan Suku Mee
Dalam sesi berikutnya, aktivis lingkungan Yohanes Giyai dari Green Papua membawakan materi berjudul “Pergeseran Pola Konsumsi Suku Mee dari Aspek Ekonomi Politik.”
Giyai menguraikan bagaimana sistem ekonomi-politik global mengubah cara makan, pola konsumsi, bahkan cara hidup masyarakat Papua, khususnya Suku Mee. Fenomena ini ia sebut sebagai bentuk gastrokolonialisme (penjajahan modern melalui sistem pangan).
Kolonialisme dan Akar Pergeseran Pangan
Menurut Yohanes, akar persoalan pangan di Papua berawal sejak masa kolonial Belanda. “Belanda melakukan lebih dari 142 ekspedisi untuk meneliti tanah dan sumber daya Papua. Dari situ mereka membagi wilayah menjadi tujuh area berdasarkan potensi alam dan karakter manusianya,” jelasnya.
Di wilayah pegunungan seperti Paniai dan Lembah Baliem, masyarakat memiliki sistem pertanian yang maju dan mandiri. Namun, sejak intervensi kolonial, sistem itu perlahan digantikan oleh logika ekonomi luar.
Gastrokolonialisme: Penjajahan Lewat Perut
“Kolonialisme bukan hanya soal tanah, tapi juga perut,” kata Yohanes. “Ketika makanan lokal digantikan oleh makanan dari luar, itu berarti cara hidup dan identitas kita juga sedang diganti.”
Belanda memperkenalkan beras sebagai makanan prestise kolonial. Sejak itu, pangan lokal seperti sagu, ubi, dan keladi mulai tersisih. Proses ini berlanjut pada masa Indonesia.
Pasca integrasi Papua ke Indonesia (yang menurut orang Papua, proses aneksasi), Yohanes menilai pola kolonialisme berganti wajah. Melalui Revolusi Hijau, pemerintah mendorong budaya pangan berbasis beras dan pupuk kimia.
“Negara menanamkan gagasan bahwa beras adalah simbol kemajuan dan ketahanan pangan. Padahal program ini menghancurkan sistem pangan lokal,” ujarnya.
Transmigrasi dan Politik Beras
Program transmigrasi pada era 1970–1980-an mempercepat perubahan pola konsumsi. Transmigran membawa budaya makan beras dan mi instan, memperkenalkan pasar baru di tanah Meeuwodidee dan Papua umumnya. “Masyarakat diberi beras bukan untuk didorong menanam, tapi untuk diajarkan menerima. Ketergantungan inilah yang menjadi strategi kontrol negara,” katanya.
Menurut Yohanes, dana Otsus mempercepat budaya konsumtif. “Dulu orang Mee hidup dengan prinsip ‘ko mau hidup, ko harus tanam’. Sekarang bergeser jadi ‘ko mau hidup, ko beli’,” jelasnya.
Food Estate: Kolonialisme Pangan Baru
Yohanes mengatakan bahwa Proyek food estate di Papua Selatan yang mengorbankan lahan rakyat. “Lebih dari dua juta hektar tanah dialokasikan untuk proyek bioetanol dan food estate. Sekitar 54.000 hektar lahan sagu rakyat akan diubah jadi kebun tebu. Ini penghapusan sistem pangan orang Papua,” tegasnya.
Yohanes mengajak generasi muda untuk menanam kembali pangan lokal sebagai bentuk perlawanan. “Food estate bukan proyek ekonomi semata. Ia alat kontrol kolonial yang bekerja lewat logika modernisasi. Kalau kita tidak sadar, kita akan dijajah melalui perut,” ujarnya.
“Pangan bukan hanya soal kenyang. Ia adalah soal identitas, tanah, dan masa depan kita sebagai orang Papua,” pungkasnya.
Baca Juga : Togel Merusak Generasi Papua, Penegakan Hukum Lemah
Sesi Ketiga: Kesejatian Manusia, Alam, dan Pangan
Sesi terakhir dibawakan oleh Marselino Wegobi Pigai, pemerhati budaya pangan lokal, dengan tema “Kesejatian Manusia, Pangan, dan Hubungan dengan Alam.”
Dengan cara bicara yang tenang tapi dalam, Marsel ajak peserta lihat ulang hubungan manusia dengan alam lewat pangan yang kita makan tiap hari. Ia mulai cerita dari pengalaman hidupnya sendiri, bagaimana ia lawan ego, berhenti makan nasi, rokok, dan jajanan instan, lalu balik makan pangan lokal seperti ubi (nota).
“Awalnya cuma mau sehat. Tapi lama-lama saya sadar, ini bukan cuma soal tubuh, tapi juga soal jiwa dan roh,” katanya mengawali sharingnya.
Pangan dan Kesejatian Manusia
Kata Marsel, manusia sejati itu bukan cuma dibentuk dari tanah liat tapi juga dari makanan yang dia makan tiap hari. Dalam ilmu gizi juga jelas, katanya, bahwa makanan yang kita makan itu jadi rambut, kulit, otak, sampai tulang.
“Makanan itu bukan cuma isi perut, tapi juga bentuk jiwa dan roh. Jadi kesejatian manusia itu bukan cuma dari pikiran, tapi dari apa yang dia makan dan minum,” jelasnya.
Aktivis Amnesty Papua ini juga menyebut ubi (nota) yang punya glukosa alami dan bagus buat otak. Tapi sekarang, banyak orang sudah tidak makan makanan lokal, lebih pilih mie instan atau nasi karena cepat dan gampang kenyang.
Sementara itu, Marsel menyebut ada tanaman yang kehilangan jiwa Alam. Katanya, sekarang bukan cuma manusia yang berubah, tapi juga tanaman. “Tanaman sekarang juga mulai hilang jiwanya.
“Kalau kita lihat nota sekarang, bentuknya sudah beda. Ia mulai kehilangan bibit aslinya. Kalau unsur alam dalam tanaman hilang, yang kena bukan tanamannya, tapi manusia juga,” tambahnya.
Marsel sambung dengan pandangan orang Mee, bahwa manusia terdiri dari salah tiganya Yinaa Tunaa, Maki Tumaa, dan Mogo Tumaa. Tiga unsur yang datang dari semesta. Artinya, manusia dan alam itu satu. Kalau kita rusak alam, kita rusak diri sendiri.
Krisis Rasa dan Godaan Makanan Instan
Menurut Marsel, masalah pangan sekarang bukan cuma soal sakit atau sehat, tapi soal “rasa”. Dunia sekarang, katanya, bikin makanan bukan untuk kasih hidup, tapi untuk menggoda lidah.
“Semua dibuat supaya enak, bukan supaya sehat. Padahal rasa itu sentuh jiwa. Dari rasa itu watak dan pikiran kita bisa terbentuk,” ujarnya.
Lanjutnya, dosa pertama manusia di kitab suci pun mulai dari makan. Hal ini menandakan bahwa makan adalah titik awal perubahan kesadaran manusia.
Di bagian akhir, Marsel ajak semua orang Papua supaya kembali tanam dan makan pangan lokal. “Kita punya nota, yatu, nomo, eto, dee, apuu, banyak sekali yang tumbuh sendiri di tanah. Gratis! Tapi karena kita malas menanam, kita beli benih dari luar dan bayar mahal,” tegasnya.
Ia juga ingatkan soal bahaya gula dan minuman kemasan. Katanya, sekarang banyak anak muda sakit ginjal dan diabetes karena tiap hari minum manis.
“Saya pernah temani satu pasien gagal ginjal. Tiap hari dia minum minuman kemasan. Akhirnya ginjalnya rusak dan dia meninggal di depan saya. Itu kenyataan hidup kita sekarang,” ujarnya pelan.
Menanam untuk Hidup, Bukan untuk Uang
Marsel mengatakan, kesejahteraan sejati bukan diukur dari uang, tapi dari pangan yang kita punya. Tahun ini, dia sendiri mau tanam tomat, cabai, dan sayur di kebun. “Kalau mau uang, tanamlah uang. Tapi kalau mau hidup, tanamlah pangan,” katanya, disambut tepuk tangan peserta.
Ia tutup materinya dengan sebuah kalimat berisikan pesan ajakan bersama:
“Jangan bergantung terus pada perusahaan dan produk luar. Mari kembali ke tanah, ke pangan lokal, ke kesejatian tubuh, jiwa, dan roh kita. Dari situ kehidupan sejati berasal.”
Baca Juga : Wujud Kebersamaan Membangun Gereja Kingmi Kalvari
Pojok Literasi untuk Penggiat Literasi
Yapkema juga menyediakan ruang untuk penggiat literasi di Paniai menjual buku bacaan pada kegiatan seminar tersebut. Meja khusus untuk menjual buku diletakkan di depan, samping kiri pintu masuk ruangan Aula SKB Enarotali, bersebelahan dengan meja registrasi. Ini memungkinkan peserta seminar yang masuk atau keluar untuk melihat-lihat buku bacaan dengan beragam genre, seperti buku cerpen, novel, buku pengembangan diri, hingga buku sosial dan humaniora.
Beberapa anak muda-mudi yang menjadi peserta seminar bahkan membawa bukunya sendiri untuk dijual, sehingga tercipta suasana yang mendukung bagi penggiat literasi dan pembaca buku. Ini adalah bentuk komitmen dan model bahwa Yapkema tidak hanya mau fokus pada seminar kesehatan, tetapi juga ingin mempromosikan literasi dan budaya membaca di kalangan masyarakat Paniai.
MOBU: Kepuasan Makan Bersama dengan Makanan Lokal
Di tengah-tengah kegiatan seminar, hidangan snack yang disajikan adalah roti yang dibuat oleh mama-mama dampingan Yapkema di Enarotali, Paniai. Makanan beratnya adalah ubi rebus, sayur kukus, dan ayam kukus. Hampir semua bahan makanan dibelanjakan kepada mama-mama, seperti sayur dan nota, rica, tomat, dibelanjakan dari mama-mama di Pasar Enarotali Paniai. Kecuali daging ayam.
Seminar kesehatan yang digelar YAPKEMA Papua bukan sekadar diskusi ilmiah, melainkan ajakan moral dan spiritual bagi masyarakat Papua untuk menyadari kembali makna pangan sebagai sumber kehidupan, bukan sekadar pemuas rasa.
Dari Sarce Datu yang menyoroti bahaya zat kimia, Yohanes Giyai yang mengurai kolonialisme pangan, hingga Marselino Wegobi Pigai yang mengajak kembali ke kesejatian manusia. Ketiganya menggarisbawahi satu pesan kuat: Papua akan sehat, kuat, dan berdaulat jika rakyatnya kembali menanam, memakan, dan mencintai pangan lokalnya sendiri. (*)
Oleh : Agustina C. Doo/Yapkema
