“Perempuan dan laki-laki harus sadar dan melihat persoalan kekerasan ini sebagai ketimpangan struktur sosial. Perempuan dan laki-laki sama derajatnya, hanya konstruksi sosial yang membuat mereka ada yang lebih merasa tinggi, dan yang lain dianggap rendah.”
Nabire, Yapkema.id – Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) Papua menyelenggarakan seminar dengan topik “Tips Agar Paham & Cegah Kekerasan Terhadap Perempuan”, bertempat di ruangan Aula Asrama Putri Paniai di Kalibobo Nabire pada Rabu, 26 November 2025. Yang hadir sebagai pembicara dalam seminar ini adalah Novita Opki, Pemberi Bantuan Hukum (PBH) bagi perempuan dan anak yang berbasis di Jayapura. Peserta yang hadir, lebih dari 50 orang laki-laki dan perempuan, jika ditambah dengan staf Yapkema. Terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan kalangan aktivis.
Yapkema membuat kegiatan ini adalah bentuk respons sosial, karena di Papua, kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, seperti kekerasan fisik, psikis, verbal, kekerasan budaya, kekerasan dalam berpacaran, dan kekerasan berbasis online. Perempuan di Papua seringkali menjadi korban kekerasan berlapis, termasuk kekerasan struktural dari negara dan kekerasan budaya. Ini adalah persoalan yang tidak bisa dibiarkan. Perempuan dan laki-laki harus sadar dan melihat ini sebagai ketimpangan struktur sosial. Perempuan dan laki-laki sama derajatnya, hanya konstruksi sosial yang membuat mereka ada yang lebih merasa tinggi, dan yang lain dianggap rendah.
Dalam materinya, Novita mengatakan, secara umum, kekerasan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis utama berdasarkan sifat yaitu kekerasan fisik dan non fisik. Yang fisik adalah seperti luka di tubuh korban, memar, patah tulang atau cedera fisik lainnya. Sementara yang tak terlihat atau non fisik adalah perilaku yang merusak kesehatan mental dan emosional korban. Walau tak berbekas luka fisik, tapi dampaknya bisa sangat parah dan bertahan lama, sampai menyebabkan trauma dan luka psikis. Seperti makian, hinaan, ancaman, intimidasi, diskriminasi, dan lain-lain.
“Dari dua jenis sifat kekerasan di atas itu, banyak sekali bentuknya. Kekerasan fisik, psikis, verbal, seksual, ekonomi, budaya, kekerasan berbasis online, dan struktural. Tapi harus diingat, kekerasan terhadap perempuan itu seringkali dia berlapis dan bisa mencakup beberapa bentuk kekerasan sekaligus,” katanya.
Baca Juga : Dari Ubi ke Mie Instan: Krisis Identitas di Tanah Meeuwodidee
Setelah mengenali sifat dan bentuk-bentuk kekerasan beserta contoh-contohnya, kata perempuan Pegunungan Bintang peranakan (Mama) Mee itu, kita harus dan wajib pikirkan bagaimana langkah-langkah pencegahannya. Supaya kekerasan terhadap perempuan itu tidak terjadi lagi dari yang sudah banyak itu.
“Untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan lagi, kita yang sudah paham harus membuktikan dengan tindakan, dan harus menjadi corong penyadaran untuk mereka yang lain. Ke teman, keluarga, pasangan, kita bisa ikut memperbaiki kondisi ini dari diri kita sendiri,” katanya.
Ia mengatakan, kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi karena kurangnya kesadaran dan kepedulian kita. Misalnya, dalam lingkup keluarga, pembagian peran bisa dibicarakan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari, tapi karena kecolongan, kadang itu menjadi sumber kekerasan dalam rumah tangga. Contoh di Jayapura, di Indonesia umumnya, kasus kekerasan terhadap perempuan bertumpuk di meja polisi, tapi tidak mampu diselesaikan dengan cepat. Bahkan, sengaja dilalaikan. Ini masalah serius.
“Tapi kita di sini, Yapkema sudah fasilitasi ruang untuk kita berbagi, belajar sama-sama, ini luar biasa. Kita harus terus belajar, sadar, peduli. Dan bisa menjadi ruang aman dan corong penyadaran bagi kita punya sesama di sekitar. Dengan masing-masing kita punya posisi dan kapasitas,” kata Novita.
Sementara itu, salah satu peserta perempuan yang hadir, Keska, menyampaikan kesannya. “Saya senang sekali, giat ini menjadi ruang berjumpa dengan teman-teman untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan. Lebih berkesannya lagi, laki-laki juga banyak yang hadir. Ini artinya bahwa masalah ini bukan hanya milik perempuan saja, tetapi milik bersama yang harus diperbaiki. Paham sama-sama, baru kita cegah dan lawan sama-sama,” katanya.
Baca Juga : Seminar Kesehatan “Cegah IMS di Kalangan Muda”, YAPKEMA Papua dan STT Walter Post Perkuat Kolaborasi
Terakhir, Mis Murib, selaku staf Yapkema dan penyelenggara, mengharapkan beberapa hal. “Kami dari Yapkema mengharapkan tiga hal. Pertama, setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, semakin memahami pentingnya manusia itu hidup bersama tanpa ada kekerasan. Karena di situlah nilai tertinggi dari kehidupan. Kedua, ada peningkatan kesadaran terhadap individu, baik mereka yang selama ini menjadi pelaku atau korban dari kekerasan, sehingga dengan kesadaran itu ke depan mereka tidak jadi pelaku atau korban. Ketiga, kami juga berharap kawan-kawan perempuan di Papua Tengah ini juga punya komunitas yang selalu eksis, untuk menjadi rumah dan wadah untuk menyuarakan isu-isu mendasar tentang perempuan,” katanya.
Kegiatan yang dimulai pukul 3 sore ini berakhir sedikit molor pada jam 7 malam karena forum diskusi dan tanya jawab yang begitu hidup. Ditemani dengan cemilan makanan lokal yang dibeli dari pasar mama, dan kopi arabika dari Meeuwodidee. Ada peserta yang bertanya, tetapi juga menanggapi atau memberikan pandangan dan cerita pengalaman. Para peserta yang aktif bertanya, terakhir diberikan tanda mata berupa tas totebag bergambar dan bertuliskan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan.
Oleh : Herman Degei/Yapkema
