Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Udoopituwo: Saat Babi Jantan Dapat Mahar

Udoopituwo: Saat Babi Jantan Dapat Mahar

Bapa Matias (bagian kiri), dan mama Marta (bagian kanan), sedang berjalan turun ke arah pasar Moanemani di jalan Ekemanida. (Dok: Herman)
Bapa Matias (bagian kiri), dan mama Marta (bagian kanan), sedang berjalan turun ke arah pasar Moanemani di jalan Ekemanida. (Dok: Herman)

Kikee Gane adama kidi, ekina udoopai yaouwete. Uka ekina ipuwemee, Gerardus adama kida, naomei etiyake.” Begitu Mama Marta di samping saya berkata. Pagi itu kami sama-sama jalan kaki ke arah pasar Moanemani dari Kampung Idakotu.

Artinya adalah: “Bapa Gane ini, dia pergi antar babi jantan, karena yang punya babi betina, bapa Gerardus, suruh bawa datang untuk dikawinkan.”

Betul. Di depan kami, Bapa Gane sedang menuntun babi jantan warna hitam dengan bentuk tubuh yang ramping, panjang, berotot, dan kedua daun telinganya lebar menjuntai. Tali keluh warna biru tua sudah diikatkan kuat pada salah satu kaki. Ujung talinya dipegang erat oleh Bapa Gane. Sesekali babi menguik, mencoba berbelok atau berhenti sejenak ketika ‘mengendus’ sesuatu. Tetapi Bapa Gane masih pegang erat kendali tali. Dia terus arahkan supaya pai ekina (babi jantan) itu tetap berjalan.

Disebut Bapa Gane, sebetulnya itu bukan dia pu nama. Nama lengkap (baptisnya) Matias: Matias Gane. Gane, adalah sebutan marga – orang asli Dogiyai. Di Papua, lebih sering orang, apalagi yang lebih tua, dipanggil marganya. Misalnya Bapa Degei, Bapa Nawipa, Bapa Suabra. Dan seterusnya.

Tidak tahu. Itu karena orang sungkan memanggil nama lengkap, atau dalam rangka untuk memudahkan, atau barangkali memang karena marga memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai identitas keluarga dan penanda silsilah keturunan. Silakan, bisa dicari tahu sendiri.

Aktivitas yang dilakukan Bapa Gane ini adalah sebuah kebiasaan sekaligus keharusan bagi keluarga-keluarga orang Mee yang piara babi. Ketika uka ekina (babi betina) mulai memasuki masa birahi dengan memperlihatkan perubahan ciri fisik dan perilaku, keluarga pemilik akan cari babi jantan untuk dikawinkan.

“Biasanya babi betina yang diantar ke kandang tempat babi jantan berada. Atau sebaliknya, babi jantan yang dibawa pergi ke tempat babi betina. Tapi yang lebih sering dilakukan itu, babi jantan antar ke tempat babi betina,” kata Bapa Yezkiel Dumupa, yang menjadi pemateri Ekonomi Owaadaa dalam kegiatan FGD Program Owaadaa yang diselenggarakan Yapkema pada November 2023 lalu.

Tidak semua babi jantan itu punya keturunan yang unggul dan berkualitas. Sa ingat, dulu di kampung kami di daerah Mapia, Dogiyai, masyarakat bahkan rela pergi cari babi pejantan sampai ke kampung-kampung sebelah. Walaupun tetangga atau masyarakat di kampung itu ada babi pejantan, tetapi kalau ada babi pejantan lain dari kampung sebelah yang menurut mereka lebih bagus, mereka gass.

Meski harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang membosankan, ikut lereng, naik gunung, turun gunung, menyeberang kali, melewati pagar kampung, kadang jalannya berbecek, cuaca tidak menentu, dstnya.

Dari mana masyarakat bisa pastikan bahwa babi jantan A lebih berkualitas daripada babi B, C atau D? Jawabannya menurut sa dari pengalaman mereka sendiri atau pengamatan empiris terhadap aktivitas sesamanya, manusia. Dua itu saja. Sebuah tindakan yang didasarkan pada apa yang mereka pelajari atau alami dari dunia nyata. Bukan pada teori atau pemikiran abstrak semata. Masyarakat umumnya, hidup dengan tuntunan pengetahuan aposteriori (ini menurut sa, dan bisa kita diskusi lebih lanjut. Hehe).

Praktik meminjamkan atau menyewakan pejantan adalah hal yang lazim dalam kehidupan orang Mee. Bagi masyarakat yang punya pejantan berkualitas, menyewakan atau meminjamkan babi pejantan mereka juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan. Karena masyarakat yang butuh pejantan untuk mengembangbiakkan babinya, pasti akan membayar jasa peminjaman pejantan tersebut. Singkat kata, berlaku seperti MAHAR.

Mahar ini, dalam bahasa daerah kami di Mapia, saya tidak tahu bahasa Mee daerah lainnya, disebut dengan Udoopituwo. Udoopituwo adalah kewajiban berupa pemberian uang atau barang oleh peminjam udo pai (babi pejantan) sesuai konsensus awal, misalnya mengenai bentuk mahar, biaya, durasi peminjaman, dan tanggung jawab jika terjadi masalah.

Di kampung kami, Putaapa, tahun 2015 ke bawah itu biasanya harga udoopituwo 200 ribu sampai 300 ribu. Sekarang semakin naik. Ada yang 500 ribu, bahkan ada juga 700 ribu. Ini sudah, yang orang bilang nilai uang dalam pembayaran cenderung meningkat seiring waktu, karena perkembangan ekonomi dan ada pergeseran tingkat kebutuhan masyarakat. Dulu, uang mungkin hanya digunakan untuk transaksi sederhana. Bahkan ada sistem barter. Tapi sekarang, uang punya peran yang lebih kompleks dalam perekonomian global.

Udoopituwo bisa juga berupa satu ekor anak babi. Jadi, setelah babi yang dikawinkan itu beranak, dan melewati masa ketergantungan anak babi pada susu serta kehangatan induk atau yang disebut dengan masa penyapihan, sang pemilik akan memberikan satu ekor babi kepada pemilik babi pejantan. Bisa jantan, bisa betina. Tergantung kesepakatan.

Saya yakin, bapak Matias sudah berkomunikasi dan telah membangun kesepakatan-kesepakatan tertentu dengan Bapa Gerardus sebelum pergi antar babi. Lagipula dia “orang lama” di sini. Saya baru pergi main ke rumahnya. Dia punya ternak babi delapan ekor di kandang belakang rumah. Persis samping pohon buah merah, yang berhadapan dengan beberapa baris bedengan yang ditanami nota (ubi), bawang daun, wortel, dan sawi putih. Dalam ada satu pejantan, dua betina. Lima anakan.

Bapa Matias saya tahu persis orang tua pekerja keras, dan tekun dalam bekerja. Dekat dengan gereja. Penuh nasihat-nasihat. Tidak hanya dengan kata-kata, tapi tindakan. Teladan. Pertemuan saya dengan aktivitas beliau pagi itu, menunjukkan bahwa dia bukan sekadar peternak babi. Tetapi juga penyedia jasa pejantan. Dua jenis usaha yang dijalankan secara simultan, dengan masing-masing punya manfaat ekonomi, yang saling berkaitan.

Buat saya, dia jadi cermin untuk anak-anak muda – KITA, yang semangat masih segar hari ini. Dia seolah sedang sampaikan dan menyindir, “Baru, kam anak-anak muda bagaimana? Tidak kelola potensi yang ada dan mau bergantung beli babi terus ke iyowoya dong?!”.

Sehat selalu dan panjang umur, adama. Ugatame (Tuhan) berkati. Seperti janji saya waktu itu, dalam waktu dekat akan bawa kopi arabika Dogiyai satu bungkus, dan gula. Duduk cerita lagi di Emawaa yang berdiri kokoh, sekokoh prinsip hidup bapa Matias, dengan rumpun pisang kugou yang tumbuh subur di sampingnya.

Oleh : Herman/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Komentar

  1. Hebat Bapa Matias

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *