Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Sekarung Beras di Aimas dan Nasib Ekonomi Papua

Sekarung Beras di Aimas dan Nasib Ekonomi Papua

Pasar tradisional di Aimas, Provinsi Papua Barat Daya (Foto oleh Agustinus Raharjo)
Pasar tradisional di Aimas, Provinsi Papua Barat Daya (Foto oleh Agustinus Raharjo)

“Ruang-ruang ekonomi di pasar tradisional maupun di pinggir jalan kini didominasi oleh pedagang pendatang. Kios-kios dan pasar mini yang menjamur menjual komoditas yang sama dengan yang dijual oleh mama-mama Papua.”

Di depan kampus Uni Muda Sorong, di sebuah sudut distrik Aimas, saya sedang asyik menyelami pemikiran Rocky Gerung dalam bukunya yang berjudul “OBAT DUNGU RESEP AKAL SEHAT”. Tiba-tiba, muncul pemandangan sederhana menyentak saya dan menarik saya keluar dari lembaran buku.

Seorang pemuda Papua, dengan langkah kaki yang tidak sempurna, keluar dari kios sambil memeluk sekarung beras. Ia meletakkannya di atas skuter hitam, lalu melaju ke arah SP Sorong. Pemandangan ini mungkin terlihat biasa, tapi bagi saya, pemuda dan sekarung beras itu adalah cerminan dari persoalan besar yang sedang terjadi di Tanah Papua.

Kejadian itu seolah menjadi benang merah yang menghubungkan pengamatan saya di beberapa tempat lain di Sorong. Saya melihat seorang ibu dan perempuan muda Papua berbelanja sayur dari pedagang pendatang. Di sudut lain, saya dapati perempuan Papua pedagang sayur duduk bersebelahan dengan pedagang pendatang yang menjual komoditas serupa.

Baca Juga : Fenomena Miras di Enarotali Sudah Mengancam Hubungan Sosial

Ini bukan cerita baru. Fenomena ekonomi seperti ini telah lama berjalan dan menjadi potret umum di seluruh Papua, mulai dari Nabire, Manokwari, hingga Timika. Ini adalah percikan-percikan api di kampung-kampung yang sumbernya berasal dari pusat kota.

Tiga Masalah Ekonomi yang Tersembunyi

Dari pemandangan di Aimas, setidaknya ada tiga masalah mendasar yang bisa kita baca dari sudut pandang eksistensi manusia Papua.

Pertama, pergeseran pangan dan hilangnya kedaulatan. Manusia Papua sesungguhnya hidup dalam kelimpahan pangan lokal. Namun, beras kini telah menjadi makanan pokok nomor satu. Pangan asli seperti sagu dan umbi-umbian semakin terabaikan, baik dalam pola konsumsi masyarakat maupun dalam kebijakan pemerintah yang justru fokus pada proyek sawah skala besar. Studi oleh Baransano dkk. di Nabire dan Tekege dkk. di Timika telah membuktikan pergeseran ini, di mana masyarakat Amungme dan Kamoro telah beralih ke beras. Pemuda yang membeli beras di Aimas adalah bukti nyata dari tren ini.

Gambar seorang pedagang, mama Papua berjualan di pinggir jalan (Dok. Pigai Wegobi)
Gambar seorang pedagang, mama Papua berjualan di pinggir jalan (Dok. Pigai Wegobi)

Kedua, perebutan ruang kendali pasar. Ruang-ruang ekonomi di pasar tradisional maupun di pinggir jalan kini didominasi oleh pedagang pendatang. Kios-kios dan pasar mini yang menjamur menjual komoditas yang sama dengan yang dijual oleh mama-mama Papua. Akibatnya, pembeli lebih banyak singgah ke pasar-pasar mini ini. Keluhan serupa pernah saya dengar dari mama-mama di pasar sore Kalibobo Nabire. Bahkan di sebuah kabupaten pegunungan, sempat terjadi ketegangan saat mama-mama menuntut penutupan lapak sayur milik pendatang.

Ketiga, gangguan hingga krisis ekonomi rumah tangga. Ketika akses terhadap pangan lokal hilang dan ruang untuk berjualan semakin sempit, maka krisis ekonomi rumah tangga menjadi tak terhindarkan. Ketiadaan pendapatan akan melebarkan jurang ketimpangan. Studi oleh Kegou di tiga pasar tradisional Manokwari sudah membuktikan adanya ketimpangan penghasilan yang signifikan di antara mama-mama pasar. Ini adalah cikal bakal dari kerapuhan ekonomi yang lebih luas.

Akar Masalah: Pemerintah yang Apatis

Jika kita telusuri sebabnya, semua fenomena ini bermuara pada satu hal: tiadanya keberpihakan kebijakan pemerintah untuk melindungi petani dan pedagang asli Papua. Kalaupun ada kebijakan, praktiknya di lapangan sangat lemah. Masyarakat dibiarkan sendirian dalam persaingan pasar yang tidak seimbang.

Baca Juga : Kisah Waganak, Pengungsi Difabel dari Gome, Ilaga

Dalam ilmu ekonomi, pasar yang bebas tanpa kontrol pemerintah hanya akan melahirkan ketimpangan. Pihak dengan modal dan pengetahuan yang lebih besar akan selalu menindas yang lebih lemah. Inilah yang terjadi di Papua.

Kita bisa bertanya, berapa banyak produk hukum turunan dari Undang-Undang Otonomi Khusus yang benar-benar melindungi hak ekonomi masyarakat adat? Dari periode ke periode, kita melihat apatisme yang sama, yang mengabaikan hak masyarakat atas tanah leluhur dan kegiatan ekonominya.

Apakah ini semua adalah bentuk sistematisasi untuk memusnahkan pangan lokal, membatasi ruang ekonomi mama-mama pasar, serta melebarkan krisis dan ketergantungan ekonomi? Mungkin pertanyaan ini perlu kita renungkan bersama.

Oleh : Wegobi/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *