 
											“Itulah sebabnya mama-mama itu sudah mengenal berkebun sejak kecil. Ketika orang tua mengelola kebun, anak sudah pasti dibawa kesana. Setiap kesempatan mengambil alat kelola, cara mengelola tanah, merawat, memanen dan pasca panen, dipelajari depan mata mereka. “Yokato koda make kodoka bugi keitai kouko” (sejak kecil sudah biasa bikin kebun).“
Ibu guru sepertinya kita harus sama-sama ke sekolah, saya mau pantau dan ketemu mama-mama dorang yang akan antar anak-anaknya ke sekolah! “Bisa Kaka”, jawabnya ke saya dari seorang ibu guru orang asli Papua dari Serui, yang mendidik anak-anak asli Papua di TK/Paud Anugerah.
Hari itu sudah menunjukkan Kamis, 09 Oktober 2025, pukul 07.30 Waktu Papua. Motor sudah di depan sebuah rumah, yang terletak antara perbatasan kampung Ekemanida dan Idakotu. Tiba-tiba muncul seorang perempuan dari antara rumah bangunan model baru dan sebuah rumah asli warisan budaya dan pengetahuan leluhur.
Tanpa pikir panjang. Mulut tiba-tiba bergerak seru. Ibu guru itu salah satu mama dampingan! “Iya benar, itu peserta yang lama”. Jawab ibu guru. “Kaka data dia dulu disini, nanti baru ke sekolah”, Lanjutannya. Oke ibu guru, jawab saya.
Baca Juga : Luapan Danau Paniai Perlu Mitigasi, Bukan Sekadar Bantuan Sembako
Kerja kelola kebun melekat pada diri
Selama 2-3 hari saya bersama Ibu guru sudah menjelajahi ke Kumu-kumu. Kunjungan ke lokasi-lokasi keberadaan mama-mama yang tertandai sebagai pendamping Yapkema Papua. Mereka berada dan terbagi kedalam dua kampung; Ekemanida dan Idakotu Dogiyai.
Dalam cerita bersama mama-mama yang dijumpai, setidaknya 18 orang. Mereka menerangkan berkebun, mengelola kebun sudah dimulai sejak masih kecil. Sudah menjadi bagian dari perjalanan panjang hidup mereka. Keadaan ini menjelaskan kehidupan tumbuh kembang mereka bersamaan dengan dan tidak lepas dari hasil olahan kebun.
 
											Mereka tidak lebih dulu belajar kemudian dilatih. Tidak seperti pendekatan yang dikenalkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kekinian. Dimana siapa belajar dan latihan, dialah yang mempunyai kemampuan mengelolanya. Juga tidak dikualifikasi menurut usia.
Ada prinsip dan standar yang tidak dipisahkan antara anak-anak hingga orang tua. Pendidikan praktis yang fleksibel dan bebas. Studi praktek langsung di lapangan. Anak menjadi siswa keutamaan dalam seluruh peraktek-praktek baik termasuk kelola Kebun yang harus dibentuk sejak dini.
Itulah sebabnya mama-mama itu sudah mengenal berkebun sejak kecil. Ketika orang tua mengelola kebun, anak sudah pasti dibawa kesana. Setiap kesempatan mengambil alat kelola, cara mengelola tanah, merawat, memanen dan pasca panen, dipelajari depan mata mereka. “Yokato koda make kodoka bugi keitai kouko” (sejak kecil sudah biasa bikin kebun).
Baca Selengkapnya : Kisah Luka di Balik Pengungsian: Besina Telenggen dan 4 Orang Anaknya
Karena itulah mereka merasa tidak ada dikotomi antara dirinya dan kerja kelola kebun. Bekal hidup abadi yang disediakan melalui pendidikan tanpa pungutan biaya disediakan secara turun-temurun yang diwariskan leluhur terdahulu.
Kepastian bisa bertahan hidup dalam harus perubahan-perubahan yang terjadi, sudah pasti dan ditunjukkan oleh mama-mama itu. Mengelola tanah menjadi kebun, dari kebun menghidupkan rumah tangga. Setidaknya pesan itulah yang disediakan dari mama-mama yang tunjukkan dirinya selalu mengelola kebun. “Rawat dan ikutilah itu supaya bisa terus hidup di tanah leluhur dan dimana saja”.
Oleh : Pigai Wegobi/Yapkema

 
                     
                     
                     
                     
                    