Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Luapan Danau Paniai Perlu Mitigasi, Bukan Sekadar Bantuan Sembako

Luapan Danau Paniai Perlu Mitigasi, Bukan Sekadar Bantuan Sembako

Banjir Luapan Danau
Mama Pince, sedang turun dari koma (perahu tradisional) menuju jembatan titian yang mengarah ke rumah panggung mereka usai pulang ibadah, Minggu (28/09/2025). Dok: Yapkema

Banjir luapan Danau Paniai telah mengubah kehidupan warga di kampung-kampung pinggiran danau. Koma, perahu tradisional, menjadi penolong di daratan yang terendam air berminggu-minggu. Tak saja merendam rumah dan kebun, juga mencemari lingkungan dengan kotoran. Manusia dan ternak babi terpaksa berbagi ruang pengungsian. Fenomena berulang ini membutuhkan solusi mitigasi permanen dari pemerintah, bukan sekadar bantuan darurat.

Terperangkap air: Kisah adaptasi pahit warga Danau Paniai

Minggu siang itu (28/9), usai mengikuti ibadah di Gereja Katolik St. Yosep Enarotali, saya kembali ke kantor tempat biasa saya tinggal di Kampung Ugibutu, Enarotali, menggunakan motor. Di jalan bertemu Mama Pince, tetangga sebelah kantor yang sedang jalan kaki pulang ibadah. Langkahnya agak cepat, seperti terburu-buru. Saya berhenti dan menawarkan Mama ikut naik motor. Selanjutnya kami pulang sama-sama.

Tiba di depan jalan masuk rumahnya, Mama Pince tidak minta berhenti dan turun. Ia memilih turun di Sekolah Yegeka yang ada di kampung itu. Rupanya ia terpaksa pulang ke rumahnya dengan memutar lewat belakang sekolah TK PAUD dan SD Yegeka, milik Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) Papua. Kebetulan saya biasa menumpang tinggal di kantor Yapkema yang ada di satu areal sekolah. Di belakang sekolah, tepat di depan rumahnya, ada selokan air yang mengalir ke bibir danau yang jaraknya sekitar 500 meter. Di situ Mama Pince dijemput adiknya pakai koma (perahu tradisional orang Mee).

“Mama kenapa tadi tidak lewat jalan depan saja, lebih dekat?” tanya saya. “Air danau naik lagi gara-gara hujan. Kalau lewat depan, semua badan terendam banjir dan lumpur. Jadi pakai koma saja adik. Lewat belakang,” jawab Mama Pince. Sebetulnya ada jalan setapak berupa titian kayu papan yang menghubungkan rumah Mama Pince ke jalan utama, di samping Balai Kampung Ugibutu. Tetapi jalan masuk itu kini penuh becek, berlumpur, karena air danau naik lagi, meluap hingga setinggi pinggang orang dewasa. Kalau ia paksa menyeberang di titian itu maka sebagian besar tubuh serta pakaian gerejanya akan basah.

Mama Pince sudah tahu, ketika air danau naik lagi, itu berarti rumah serta lingkungan huniannya akan terendam banjir akibat luapan danau. Dan itu sudah terjadi berkali-kali. Bagi hampir setiap rumah di beberapa kampung pinggiran danau, seperti Kampung Ugibutu, Kogekotu, Awabutu dan Aikai, yang menjadi langganan banjir, hanya koma/perahu yang menjadi penolong untuk akses ke jalan raya yang lebih tinggi, atau keperluan akses lainnya.

Tanpak rumah beserta pekarangan warga di sebelah rumah Mama Pince di Kampung Ugibutu Enarotali, terendam banjir selama nyaris sebulan, Minggu (28/09/2025)/Dok. Yapkema
Tanpak rumah beserta pekarangan warga di sebelah rumah Mama Pince di Kampung Ugibutu Enarotali, terendam banjir selama nyaris sebulan, Minggu (28/09/2025)/Dok. Yapkema

Dari lantai dua Kantor Yapkema, saya bisa melihat kondisi rumah dan pekarangan Mama Pince yang terdampak banjir. Beberapa rumah di situ sengaja dibuat rumah panggung dengan ketinggian kira-kira 1M dari tanah. Saat banjir seperti ini, kolam beserta bilik kamar mandi dan kakus di samping rumah terendam karena tingginya lebih rendah dari lantai rumah. Bisa dibayangkan bagaimana kotoran bercampur ikan itu meluap ketika air membanjiri. Iikan-ikan yang tak bertahan hidup tampak  terapung, terbawa arus, sementara yang hidup entah lari bebas cari kehidupan ke mana.

Banjir telah terjadi sejak awal September 2025, dan hingga kini memasuki awal Oktober. Air belum menunjukkan tanda-tanda surut. Warga di beberapa kampung pinggiran Danau Paniai ini mau tak mau terpaksa hidup dalam kondisi ini.

Baca Juga : Kisah Luka di Balik Pengungsian: Besina Telenggen dan 4 Orang Anaknya

Beberapa kebun pekarangan warga yang ditanami bawang daun, kol, sawi, ubi, masih terendam air. Beberapa rumah yang dibangun rata tanah, digenangi air. Lantai basah, tungku api dapur basah, ada yang katanya bahkan untuk masak harus dari lantai dua rumah. Ada satu rumah milik Bapak Kudiai, anaknya teman saya. Pamannya meninggal dua tahun lalu, dikubur di samping rumah. Dari posisi dan ketinggian, sangat mungkin kuburannya itu terendam banjir.

Air setinggi 30 – 50 sentimeter juga menggenangi areal terbuka depan ruang sekolah TK Paud dan SD Yegeka. Di situ ada area dan fasilitas bermain TK-PAUD, tempat anak-anak sekolah biasa bermain saat jam istirahat. Selama banjir anak-anak terpaksa membendung insting bermain mereka di areal itu. Di bagian samping sekolah Yegeka terdapat dapur untuk para guru. Akses mereka ke drum penampung air untuk mencuci, tempat jemuran pakaian, serta sumur menjadi terhalang.

Halaman sekolah sekaligus taman bermain TK PAUD Yegeka di Kampung Ugibutu Enarotali terendam banjir selama nyaris sebulan, Minggu (28/09/2025)/ Dok: Yapkema
Halaman sekolah sekaligus taman bermain TK PAUD Yegeka di Kampung Ugibutu Enarotali terendam banjir selama nyaris sebulan, Minggu (28/09/2025)/ Dok: Yapkema

Dari kotoran terapung ke ‘kandang pengungsian’: sampai kapan respon jangka pendek terus?

Jika kondisi rumah Mama Pince, sekolah serta sekitar rumah warga Kampung Ugibutu seperti itu, bagaimana keadaan kampung terdekat lainnya? Setelah berganti pakaian, saya menyalakan motor dan mulai berkeliling.

Di bagian utara Kampung Kogekotu, ratusan rumah yang menjorok masuk ke arah danau, terendam air setinggi bahkan lebih dari 50 sentimeter. Warga yang mau beraktivitas dari rumah ke jalan raya ataupun sebaliknya, harus menggunakan bantuan perahu. Lorong jalan masuk ke kampung, yang terbuat dari coran semen dari alokasi dana kampung, sudah terendam.

Beberapa koma milik warga yang digunakan untuk transportasi dari rumah ke gereja tampak masih terparkir di ujung genangan air, tepat di atas jalan raya. Daratan menjelma seperti bibir danau, tempat perahu nelayan tradisional biasa ditambatkan.

Sepanjang jalan masuk ke kampung Kogekotu ke arah Danau yang telah terendam banjir selama nyaris sebulan, Minggu (28/09/2025). Dok: Yapkema
Sepanjang jalan masuk ke kampung Kogekotu ke arah Danau yang telah terendam banjir selama nyaris sebulan, Minggu (28/09/2025). Dok: Yapkema

Melihat disitu, beberapa anak mandi-mandi dan mencari ikan dengan ebai (pukat). Ada banyak juga eceng gondok yang biasanya berada di pinggir danau, terapung hingga masuk ke perumahan dan kompleks warga. Tak jauh dari anak-anak itu, kotoran manusia juga ikut terapung. Sudah diduga rombongan kotoran itu berasal dari kakus-kakus warga. Dan bisa dipastikan, air di situ sangat tidak sehat karena telah terkontaminasi. Anak-anak bisa saja kena berbagai penyakit.

Salah satu anak, Anton, kakinya pincang karena kena pecahan kaca saat mencari ikan di parit. Di usia itu aktivitas seperti begitu memang sangat menyenangkan dan jadi pengalaman anak-anak, tetapi sekaligus menyimpan dampak buruk bagi kesehatan, bahkan keselamatan. Beberapa anak itu bersekolah di TK Paud dan SD Yegeka. Tiap pagi mereka diantar orang tua menggunakan koma sampai di ujung genangan air.

Beberapa Anak di kampung Kogekotu mencari Ikan sambil Bermain Air, tampak mengasyikkan, tetapi air banjir dapat membawa bakteri, virus, dan parasit penyebab penyakit, Minggu (28/09/2025). Dok: Yapkema
Beberapa Anak di kampung Kogekotu mencari Ikan sambil Bermain Air, tampak mengasyikkan, tetapi air banjir dapat membawa bakteri, virus, dan parasit penyebab penyakit, Minggu (28/09/2025). Dok: Yapkema

Banjir yang bertahan lama ini membuat warga terpaksa menyesuaikan diri. Ada satu rumah yang baru disangga kerangka dengan atap, lantai dibuat tinggi. Di sebelahnya ada rumah Emaawaa (rumah tradisional laki-laki) dan kandang babi. Keduanya sudah terendam air. Dua ekor babi diikatkan di sudut rumah itu. Sebelahnya ada tungku api buatan, pakaian-pakaian digantung, tempat tidur, sekaligus barang-barang penting lainnya. Sebuah pemandangan menyesakkan, di mana manusia dan ternak babi harus akur dalam satu ruang pengungsian.

Cuaca ekstrem di Paniai semakin sulit diprediksi. Curah hujan yang meningkat belakangan ini juga membuat air danau lebih cepat meluap, memenuhi bagian timur bandar udara Enarotali, sekitar pelabuhan Ibumomaida. Jalan darat terendam banjir. Kendaraan beroda dua sulit melintas di situ, dan beberapa kios di sebelah ujung bandara juga terendam. Kios-kios itu kini tutup, dan para pemiliknya ada yang mengungsi ke rumah keluarga di Enarotali, ada pula memilih turun ke Nabire.

Ruas jalan belokan di ujung timur Bandara Enarotali yang mengarah dari Kampung Dogouto ke Enarotali dalam kondusi terendam banjir setinggi 20-50 senti meter, Minggu (28/09/2025). Dok: Yapkema
Ruas jalan belokan di ujung timur Bandara Enarotali yang mengarah dari Kampung Dogouto ke Enarotali dalam kondusi terendam banjir setinggi 20-50 senti meter, Minggu (28/09/2025). Dok: Yapkema

Salah satu warga di kampung Ugibutu mengungkapkan, mereka hidup bergantung dengan danau sejak lama (tahun 1980-an) dan banjir parah ini disadari baru belakangan mulai sering terjadi. “Dulu itu kalau musim hujan juga air pasti lewat got yang ada menuju selokan ke danau. Kali Enaro tidak pernah meluap banjir seperti sekarang,” katanya.

Sejak dulu Danau Paniai adalah sumber penghidupan, bukan bencana. Warga mencari ikan dan udang di situ. Danau, sebagaimana hutan tempat cari kayu bakar dan kebun sebagai ruang penghidupan, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Dulu, masyarakat juga menghayati serta mempraktikkan larangan-larangan dan pantangan terhadap danau itu. Misalnya, jangan buang air besar atau kecil di danau maupun pinggir danau. Jangan mencemari dan merusak ekosistem danau, karena penjaga danau akan marah, dan tidak akan beri berkat lagi. Terjalin relasi harmonis antara mereka.

“Dulu tidak ada masalah apa-apa kami warga dengan danau. Maksudnya danau tidak meluap dan bikin kami punya rumah dan kebun-kebun pekarangan terendam. Sekarang, kalau hujan dengan tinggi terjadi, air danau pasti naik dan kompleks terendam banjir,” katanya.

“Kami punya rumah ini, tidak mungkin orang tua kami bikin di atas (rata) tanah kalau sejak dulu air danau sering meluap. Karena masyarakat kalau membangun rumah pasti selalu menyesuaikan kondisi alam dan perkembangan,” kata warga perempuan beranak tiga itu.

Beberapa rumah di Kampung Bobaigo mulai dibangun dengan model rumah panggung. Karena di situ rawa, lembab dan sering banjir serta menghindari genangan air di kala banjir. Bentuk rumah selalu bukan hanya mengikuti kemauan estetika pemilik, tetapi juga wujud adaptasi masyarakat untuk menciptakan hunian yang nyaman dan aman di tengah lingkungan alam yang beragam. Artinya fenomena alam ini baru terjadi belakangan. Dulu tidak ada. Aman-aman saja.

Danau Paniai dari arah Timur Paniai. Foto: Tempo
Danau Paniai dari arah Timur Paniai. Foto: Tempo

Yawei tersumbat dan danau mendangkal: Solusinya mitigasi, bukan sekadar bantuan sembako

Kita harus melihat banjir luapan Danau Paniai ini sebagai akibat. Ketika terjadi curah hujan yang tidak menentu sebagai akibat dari perubahan iklim global, volume air di danau pasti bertambah. Danau Paniai yang luasnya 154 km², tiap saat menerima air dari kurang lebih 7 sungai besar: Kali Aga, Eka, Weya, Koto, Waneuwo, Kowabeu, dan Dimiya.

Air yang terkumpul di danau secara teori, akan berkurang karena dua proses utama dalam siklus air: infiltrasi, yaitu air yang meresap ke dalam tanah, dan evaporasi, yaitu penguapan air menjadi uap yang naik ke atmosfer. Kedua proses ini memang menyebabkan air berkurang dari danau, tetapi ujung-ujungnya akan terisi kembali melalui hujan (presipitasi).

Pemerintah kabupaten harus berkoordinasi dengan pemerintahan provinsi juga pusat untuk memikirkan penanganan yang lebih serius. Dari perubahan fisik danau yang terlihat, tampaknya terdapat tiga penyebab yaitu:

        Hanya satu sungai pembuangan (Sungai Yawei/Urumuka), dan arus sungainya tidak deras karena permukaan tanah landai dan lemahnya daya buang.

        Mulai banyak tumbuh gulma terapung maupun gulma berakar di bibir danau yang memperkecil ruang dan mengurangi daya tampung air danau.

        Sedimentasi atau pendangkalan berupa tumpukan sampah atau material lain yang terjadi di dasar danau.

Sungai Yawei, dalam bahasa Mee (dialek Kamuu, Deiyai, Paniai) memiliki arti “Mari, lewat sudah!”. Seperti seseorang dari sebuah pintu, pembatas ruang, menyilakan orang atau sesuatu lain yang bergerak untuk lewat.

Sungai Yawei atau yang disebut sebagai Urumuka, bermula dari Danau Paniai dan mengalir melewati tiga kabupaten hingga bermuara di Pantai Selatan Mimika. Tetapi yang terjadi rupanya air buangan yang lewat  itu tidak maksimal. Padahal sungai tersebut cukup dalam dan lebar. Volume air yang keluar pun banyak. Kenapa saat hujan, terjadi ketidakseimbangan antara air masuk dan air keluar sehingga menyebabkan danau meluap? Ini pertanyaan yang harus dijawab.

Sungai pembuangan yang ada, yaitu Yawei, sudah tidak bisa lagi diandalkan. Harus dinormalisasi. Tetapi inipun agak rumit karena Kali Yawei punya kemiringan kecil/permukaan dasarnya landai. Kecepatan arus air lemah. Itulah yang membuat volume air di danau lebih lama berakumulasi, dan meluap banjir.

Jika tidak, jalan satu-satunya adalah membuka irigasi berskala besar di Deyatei, Distrik Teluk Deya yang mengarah ke Degeuwo, untuk mengalirkan kelebihan volume air danau, seperti yang telah direkomendasikan Yapkema Papua pada Agustus 2017 silam. Air danau kini begitu cepat meluap dan lambat untuk surut. Langkah-langkah mitigasi berjangka panjang, harus dilakukan.

Gambar Ilustrasi
Gambar Ilustrasi

Pemerintah dengan seperangkat kewenangan harus bisa melakukan lebih. Sewaktu Naftali Yogi menjabat sebagai bupati, ia hendak mau mengeruk Danau Paniai, tapi tidak berjalan. Saat bupati Hengki Kayame menjabat, mau membuat danau-danau buatan dan atau mengubah sebagian besar rawa-rawa mati menjadi kolam ikan, tetapi tidak jadi juga. Meki Nawipa saat menjabat, tak ada sama sekali upaya mitigasi berjangka panjang.

Sekitar 50 persen kondisi fisik pinggiran Danau Paniai masih berawa, lembab, sehingga pertumbuhan dan persebaran gulma begitu subur. Terutama bagian pinggiran dermaga Aikai, lembah Weya, Wedaumamo, Aga, Eka, arah Kebo, arah Deyatei, Okeitadi, Obano, hingga Muye.

Ketika Kali Aga mengarah ke Danau Paniai, Kali Koto mengalir ke Danau Paniai, Kali Eka mengalir ke danau, dan kali-kali lainnya, mereka tidak hanya membawa air. Kali juga adalah transportasi bagi sedimen. Ketika sungai mengalirkan air dari daerah yang lebih tinggi ke danau, ia juga membawa serta partikel-partikel seperti tanah, pasir, lumpur bahkan potongan kayu. Apalagi pada saat banjir.

Selain itu juga pendangkalan oleh endapan sampah yang dihasilkan oleh manusia dan gulma mati yang materialnya tenggelam dan berkontribusi pada penumpukan material padat yang menurunkan kedalaman perairan. Kalau banyak material padat mengendap di dasar danau, akan mengurangi kedalaman air dan daya tampungnya, sehingga ketika curah hujan tinggi, air akan meluap dan menimbulkan banjir.

Baca Juga : Masa Depan yang Terancam, “Kisah Mundina Wakerkwa dan Anaknya di Pengungsian”

Luapan banjir air danau yang diceritakan di atas hanya di dua kampung yaitu Kogekotu dan Ugibutu di dekat kota Enarotali. Tetapi banjir luapan air kali juga berdampak ke perumahan, kebun-kebun warga serta merusak fasilitas umum di tiga distrik lainnya.

Pemerintah menurunkan sembako berupa 2000 sak beras/20 ton sebagai bantuan cepat tanggap darurat pada 29 September 2025 di Pelabuhan Jonson Ibumomaida Kampung Kogekotu Paniai Timur, Bupati mengatakan kalau Pemda akan hadir ketika masyarakat mengalami bencana alam.

Bantuan cepat tanggap seperti pemberian bama bagi warga yang kehilangan dan kesulitan akses terhadap sumber pangan, penanganan medis kepada korban luka-luka, bantuan pembangunan rumah/renovasi rumah yang rusak, pemulihan sosial, semua itu penting. Tetapi untuk jangka panjang, pemerintah harus memikirkan langkah-langkah mitigasi agar kedepan bisa diantisipasi.

Tidak cukup hanya membagi-bagi supermi dan beras bagi warga terdampak banjir, berita picah (dibuat heboh) di media, lalu selesai. Itu hanya upaya mengusir asap tanpa padamkan api. Kalau Pemkab acuh tak acuh, lalai dan ogah ambil langkah-langkah mitigasi dengan koordinasi multipihak, maka banjir akan terus terjadi.

Bagi saya, definisi pemimpin yang merakyat bukanlah pemimpin yang di depan kamera turun jalan kaki (lalu dipublikasi untuk sekadar membangun citra). Pemimpin merakyat lebih dari sekadar citra, ia adalah pembuat dan pelaksana kebijakan dan program-program yang menyentuh denyut hidup masyarakat dan dirasakan betul-betul manfaatnya oleh rakyat.

Pemimpin merakyat akan turun tangan ketika melihat masalah terjadi, bukan sekonyong-konyong usir asap, tetapi berupaya merangkul stakeholder untuk padamkan api. Pemimpin yang membuat masyarakat sejahtera, mandiri, tidak bergantung pada mimpi-mimpi pembangunan dari luar dengan model-model pendekatan yang asing bagi masyarakat.

Oleh : Herman Degei/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *