Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Kisah Luka di Balik Pengungsian: Besina Telenggen dan 4 Orang Anaknya

Kisah Luka di Balik Pengungsian: Besina Telenggen dan 4 Orang Anaknya

Kisah Pengungsian
Masyarakat Pengungsi dari pogoma sedang menyusui anak-anaknya, di Sinak.

“Besina syok terdiam. Air mata mulai mengucur di kelopak mata, tangan satunya memegang kepala seolah sakit. Di benaknya mulai teringat kampung halaman dan sarapan pagi bersama ubi dan sayur-sayuran, namun situasi tak bisa dikembalikan.”

Pada tanggal 5-8 Februari 2025 sejumlah helikopter mengudara di bawah kaki gunung Mbombilla Karu, Distrik Pogoma. Bunyinya telah terdengar hingga telinga masyarakat Distrik Pogoma, namun belum mengetahui bahwa ada pen-drop-an sejumlah tentara Maleo.

Tak lama kemudian dua orang pemuda asal kampung Nggagama hendak bepergian untuk mengambil buah sirih di kebun. Setelah tiba di kebun, satu pemuda tersebut hendak mengambil sirih di pohon sedangkan yang satunya mencari sirih lain di sekitar wilayah tersebut. Beberapa menit kemudian tampaklah seragam loreng yang merupakan TNI Maleo bertiarap di sekitar wilayah itu. Melihat jumlah aparat cukup banyak, kedua pemuda itu ketakutan dan kembali mempercepat langkah menuju rumah.

Kedua pemuda tersebut memberitakan kepada warga sekitarnya tentang keberadaan TNI Maleo. Pada saat itu pula masyarakat dari Distrik Pogoma dan Sinak Barat mengungsi ke Sinak untuk mencari perlindungan dan keselamatan.

Baca Juga : Ketika Tanah Moyang Diatur Negara

Diketahui jumlah personil yang di-drop adalah 300 satgas Maleo. Dengan misi pengamanan wilayah dan pembangunan Pos Tentara serta mengawal MBG (Makan Bergizi Gratis) sebagai salah satu program pemerintah.

Kisah Besina Telenggen.

Besina Telenggen merupakan salah satu warga dari kampung Timobur, Distrik Pogoma. Ia memiliki empat orang anak masih muda dan remaja, Besina memiliki satu suami seorang petani/pekerja keras. Mereka hidup selama ini hasil dari kebun yang dipasarkan di pasar Sinak.

Besina mulai menceritakan kisahnya sejak awal mengungsi dari Pogoma ke Sinak hingga terbang ke Nabire untuk mencari kehidupan layak. Terpaksa harus meninggalkan Sinak karena kelaparan cukup memperparah kondisi keluarganya dan anak-anak tak ada akses pendidikan.

Sejak awal mengungsi mendapatkan banyak bantuan sembako. Baik dari pemerintah, Mahasiswa, Gereja maupun pemerhati Kemanusiaan. Menurut kesaksiannya selama ini bergantung pada sembako. Setiap hari anak-anaknya mulai belajar mengonsumsi mi instan dan barang-barang instan lainnya.

Melihat dengan ±500 pengungsi dari Distrik Pogoma, akhirnya masyarakat bersepakat untuk membuat 6 tenda di wilayah Sinak berdekatan dengan kota sehingga mudah akses sembako dan keperluan lainnya.

Dari 6 tenda pengungsian, masyarakat dibagi per tenda 100 hingga 150 orang bersama anak-anak mereka di setiap tenda. Sedangkan, sebagian menumpang bersama masyarakat sekitar yang menerima mereka.

Besina juga termasuk salah satu keluarga yang dipilih untuk tinggal di tenda bersama 4 orang anaknya. Dalam satu tenda dengan jumlah warga cukup fantastis, mereka mengalami kesulitan untuk memperoleh tempat tidur dan makan yang baik.

Selama adanya ketersediaan pasokan sembako hasil dari bantuan pemerintah maupun lainnya, mereka cukup aman terlepas dari kelaparan. Sayangnya, dengan jumlah pengungsi yang cukup banyak tak bisa bertahan hanya dengan hasil bantuan. Besina mengaku, satu hari mereka bisa masak nasi 10-20 Kg per hari. Gula dan kopi setiap pagi menjadi kewajiban sementara itu anak-anak aktif mengonsumsi mi instan.

Pada situasi stok sembako habis, di situlah menjadi tantangan terbesar bagi mereka. Besina yang memiliki 4 orang anak mengalami frustrasi. Di pagi hari setelah bangun tidur anak-anak Besina menunggu mi instan dan kopi, namun di tungku api tak ada panci bergantung seperti biasanya.

Baca Juga : Anak-anak Pengungsian, Dalam Sebungkus Rokok dan Mie Instan Mentah

Satu orang di antaranya mulai mengecek tempat penyimpanan sembako dan mi instan, namun terlihat hanya kardus dan plastik hitam. Ia mulai bertanya kepada Ibunya bahwa apakah ada mi, gula atau kue yang bisa dinikmati sebagai sarapan pagi?

Besina syok terdiam. Air mata mulai mengucur di kelopak mata, tangan satunya memegang kepala seolah sakit. Di benaknya mulai teringat kampung halaman dan sarapan pagi bersama ubi dan sayur-sayuran namun situasi tak bisa dikembalikan.

Untuk meredam rasa kelaparan bagi anaknya, Besina membawa anaknya keluar dari tenda. Membujuk dengan kata-kata manis dan nyanyian tetapi di dalam hati Besina penuh luka, beban hidup, dan merenungkan masa depan anak yang tak bisa sekolah.

Suaminya seorang pendiam, ia yang menyaksikan situasi itu namun tak bisa berkata-kata. Ketersediaan air bersih juga tak kalah penting dengan kelaparan. Air bersih tak ada, mereka harus berjalan 5-10 Km untuk menimba air. Kadang pakai air hujan yang tertampung di dalam drum namun tak cukup buat beberapa hari.

Anak-anaknya tak bisa tidur siang, malam pun juga lebih parah. Bukan karena tak bisa tidur tetapi kedinginan tak memiliki selimut, jaket dan tempat sempit. Jumlah anggota di tenda 120 orang tentu susah untuk mendapatkan tempat layak tidur/istirahat.

Kadang Besina harus mengalah, mengutamakan anak-anaknya untuk tidur di tempatnya ada pula dibaringkan di pahanya. Anak-anaknya semakin hari mengalami penurunan kesehatan: muka pucat, bulu melebar, dan ingusan. Pakaian yang dipakai pun lama semakin hari bau kental muncul.

Kondisi semakin terpuruk, stok sembako tak ada lagi, lahan untuk berkebun tak ada pula, kembali ke kampung antara taruhan nyawa. Sementara itu, aparat juga mengontrol sosial kebebasan rakyat sehingga susah untuk mencari makan di luar dari kota Sinak. Mencari makan di rumah tetangga harus dicurigai. Beban hidup dan pikiran membengkak tak bisa bersabar.

Pada suatu sore suami memanggil Besina untuk pertemuan di sebuah bukit kecil, jauh dari kerumunan. Suaminya mulai berbisik sembari menjaga lalu lalang orang/warga.

Suaminya memutuskan untuk Besina bersama 4 orang anaknya harus pergi ke Kota Nabire, baginya itulah adalah jalan terakhir untuk hidup.

Baca Juga : Fenomena Miras di Enarotali Sudah Mengancam Hubungan Sosial

“Saya dan anak-anak saya harus berpisah dengan suami saya. Suami saya memilih tinggal di Sinak sambil memantau situasi kami dikirim ke Nabire. Kami tidak tahu kapan kami akan bisa kembali ke kampung halaman kami. Kami hanya berharap bahwa pemerintah akan memulangkan kami ke kampung halaman kami jika situasi sudah aman,” ucap Besina.

Besina juga mengatakan, “Anak-anak saya sangat merindukan sekolah. Mereka tidak bisa bersekolah di sini karena tidak ada dokumen (KK Dll). Sementara pemerintah juga belum serius mengurus kami.”

“Keluarga kami yang bersama-sama mengungsi mereka hidup cukup menderita. Saya berharap mereka adalah warga Indonesia, Puncak sehingga pemerintah bisa memperhatikan kondisi ini. Kita hidup bergantung pada tanaman dan alam, di Sinak ini susah. Bagi teman-teman saya perempuan mereka menahan luka hidup yang pahit,” paparnya.

Meskipun kami menghadapi kesulitan yang luar biasa, harapan kami untuk kembali ke kampung halaman kami tidak pernah padam. Kami berharap bahwa pemerintah akan memulangkan kami ke kampung halaman kami jika situasi sudah aman. Kami berharap bahwa kami bisa kembali ke kehidupan normal kami.

Saya masih ingat kata-kata suami saya sebelum kami berpisah. “Kamu harus pergi ke Nabire bersama anak-anak, karena di Sinak kami akan kelaparan dan mati jika tidak pergi.” Saya tidak tahu kapan kami akan bisa kembali ke sana, tetapi saya berharap bahwa suatu hari nanti kami bisa kembali ke kampung halaman dan bertemu dengan suami.

Sementara kami di Nabire tinggal bersama keluarga, kami diterima dengan baik. Hari-hari saya selalu menangis karena anak-anak saya sudah tidak bisa sekolah.

Menurutnya, keselamatan masa depan anak adalah kebahagiaan sejati baginya. Sehingga suatu kelak anaknya bisa sekolah Besina berjanji akan berjuang lebih keras mendorong anak bersekolah.

Kisah yang sama juga dialami oleh banyak pengungsi di Sinak. Kondisi ini perlu dilihat sebagai hal krusial. Bila pemerintah tak melihat persoalan ini sebagai persoalan serius maka nyawa menjadi taruhan di tanah pengungsian.

Mereka menggantungkan harapan kepada pemerintah untuk memulangkan mereka ke kampung halaman. Pertanyaannya, apakah harapan itu pemerintah mengetahuinya?

Kisah nyata penuh luka ini dituliskan berdasarkan hasil wawancara bersama Besina Telenggen. Seorang Ibu yang berusaha keras untuk hidup dan selamatkan 4 orang anaknya. Menahan luka pahit hidup dan mencoba menyembunyikan dari pandangan publik. Diharapkan tulisan ini bisa sampai kepada Gubernur Papua Tengah dan Bupati Puncak untuk mempertimbangkan keselamatan Rakyat.

Oleh : Mis Murib/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *