 
											“Bersama istrinya yang buta dan sakit berat, mereka memutuskan untuk tidak mengungsi. Keputusan itu bukan karena mereka tidak takut, melainkan karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk melintasi medan yang berat. Baginya, mati bersama istrinya akibat tembakan lebih baik daripada harus menderita di perjalanan atau mati karena kelaparan dan sakit di pengungsian.“
Pada tanggal 4–5 Juli 2025, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan perjalanan panjang dari Sinak menuju Oneri. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki di tengah curah hujan, menembus lembah dan memanjat tebing. Klaimnya, TNI tengah mengejar kelompok TPNPB-OPM. Pada tanggal 6 Juli, TNI memasuki wilayah Oneri. Oneri merupakan salah satu distrik di Kabupaten Puncak yang secara geografis terletak di hulu Sungai Sinak. Daerah ini dikenal memiliki suhu dingin yang cukup ekstrem. Namun, masyarakat setempat telah terbiasa dan menyatu dengan kondisi alam.
Akses berburu bagi masyarakat cukup mudah karena medan yang strategis, baik dari gunung maupun bukit. Pepohonan yang tenang dihuni oleh berbagai jenis flora dan fauna.
Aparat TNI, dengan jumlah yang tidak disebutkan, berhasil melintasi hutan panjang dari Sinak menuju Oneri. Tak lama kemudian, tiga pemuda secara tidak sengaja menemukan pasukan TNI sedang bertiarap di wilayah Oneri. Kabar ini segera disampaikan kepada seluruh warga sipil di Distrik Oneri, yang kemudian merasa ketakutan. Menurut masyarakat, mendengar nama “tentara” saja sudah membuat mereka takut. Pada tanggal 7 Juli, keesokan harinya, masyarakat mulai menyimpan barang-barang berharga mereka—mengemas harta benda dalam plastik dan karung, lalu mengisi malam-malam mereka dengan menyiapkan noken-noken. Sebagian masyarakat mengungsi ke Distrik Sinak Induk, sementara yang lain menuju Distrik Agandugume. Mereka meninggalkan kampung halaman, ternak, dan segala harta benda lainnya.
Masyarakat sipil dari satu distrik, terdiri dari enam kampung di dalamnya, berjumlah ratusan orang yang telah mengungsi. Mereka merasa bahwa kehadiran TNI merupakan salah satu bentuk ancaman. Banyak pengalaman masa lalu yang membekas dalam ingatan, baik melalui cerita maupun pengalaman langsung—seperti peristiwa Wamena Berdarah, Biak, Wasior, dan kekerasan HAM lainnya. Ketakutan mendominasi pikiran mereka. Setiap warga menggendong anak, membawa kapak dan parang, sementara para istri membawa noken berisi pakaian dan persediaan makanan. Mereka berjalan sejajar untuk mengungsi.
Pemandangan itu seperti semut yang sedang mengumpulkan makanan di musim panas—berjalan berurutan dan rapi sepanjang jalan. Kampung-kampung menjadi sunyi, hanya terdengar suara burung, babi, ayam, dan aliran sungai yang deras.
Baca Juga : Sekarung Beras di Aimas dan Nasib Ekonomi Papua
Di tengah situasi ini, seorang warga sipil lansia merasa tak kuat untuk mengungsi. Ia adalah Kalepmendek Tabuni (61 tahun). Ia mengalami depresi. Bersama istrinya yang buta dan sakit berat, mereka memutuskan untuk tidak mengungsi. Keputusan itu bukan karena mereka tidak takut, melainkan karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk melintasi medan yang berat. Baginya, mati bersama istrinya akibat tembakan lebih baik daripada harus menderita di perjalanan atau mati karena kelaparan dan sakit di pengungsian.
Meskipun ia tahu kematian adalah sesuatu yang tidak diinginkan, kondisi ini memaksanya untuk menerima kematian sebagai bentuk kebahagiaan. Masyarakat lain menganggap keputusan ini ekstrem, namun hanya itulah yang bisa ia lakukan.
Beberapa hari kemudian, kediaman Kalepmendek didatangi aparat TNI. Mereka menanyainya tentang kondisi lingkungan, keberadaan OPM, dan berbagai pertanyaan lainnya. Namun, Kalepmendek tidak mampu memberikan jawaban yang efektif karena keterbatasan dalam berbahasa Indonesia. Akibatnya, komunikasi tidak dapat terjalin dengan baik. Aparat kemudian menyampaikan bahwa wilayah tersebut tidak boleh didatangi siapa pun—hanya Kalepmendek dan istrinya yang diizinkan tinggal di sana.
Ia merasa ditekan, dibatasi, dan dirampas ruang kebebasannya melalui berbagai bentuk tekanan verbal. Apalagi, masyarakat pedalaman jarang ke kota atau bertemu aparat TNI, sehingga banyak pikiran bercampur aduk di benaknya. Namun, Kalepmendek menyadari bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“An norugunduk nagabiki mondok kwa enakerak kwee Allah nen ndegenakerak. Undikir nduk, kwgi werakir nduk, An tomban mban ekolage” (Saya takut dibunuh oleh aparat, tetapi Tuhan telah menolong saya. Ketika mau keluar atau masuk, saya selalu berdoa) — Ungkapnya.
Baca Juga : Fenomena Miras di Enarotali Sudah Mengancam Hubungan Sosial
Ia bertahan bersama istrinya selama lebih dari empat bulan. Di Distrik Oneri, mereka tidak bisa pergi ke kota Sinak untuk membeli kebutuhan pokok seperti gula, kopi, minyak goreng, dan lainnya. Segala aktivitas dibatasi oleh aparat. Mereka hanya mengandalkan hasil kebun untuk bertahan hidup.
Sementara itu, masyarakat Oneri yang mengungsi ke Sinak dan Agandugume juga dibatasi/dilarang oleh aparat TNI untuk kembali ke kampung halaman. Bahkan untuk mengambil makanan atau sayur-sayuran saja tidak diizinkan. Akibatnya, mereka harus bergantung pada sembako bantuan dari pemerintah dan berbagai pihak.
Anak-anak mereka tidak bisa sekolah. Tidak ada aktivitas yang teratur, sehingga perkembangan motorik, kognitif, dan kesehatan fisik mereka terganggu. Puskesmas di Sinak dan Agandugume pun minim pasokan obat-obatan. Masyarakat yang sakit terpaksa harus bertahan tanpa pengobatan.
Pengungsi terpaksa tinggal di tenda-tenda berisi 50 hingga 100 orang. Sanitasi yang tidak teratur—baik dari segi makan, minum, air bersih, MCK, dan tempat tidur—mengakibatkan gangguan kesehatan. Ini adalah kondisi yang sangat mendesak dan harus segera direspons oleh semua pihak, terutama oleh pemerintah. Namun, kenyataannya tidak ada pengelolaan krisis pengungsi yang terstruktur, sehingga kondisi menjadi terbengkalai.
Semoga melalui tulisan ini, Panglima TNI dan Presiden RI dapat merasakan betul kondisi yang dialami oleh masyarakat Papua, khususnya di Puncak. Saya berpikir bahwa bila pemerintah tidak memiliki niat baik untuk mengubah keadaan ini, maka kondisi pengungsi akan semakin terpuruk dan berdampak besar pada kesehatan serta masa depan anak-anak.
Semoga pemerintah bisa proaktif dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan.
Cerita ini ditulis oleh Mis Murib, berdasarkan hasil investigasi terhadap kehidupan Bapak Kalepmendek Tabuni selama satu minggu.
Oleh : Mis Murib/Yapkema

 
                     
                     
                     
                     
                    