
“Tapi di sini, di kantor ini, hukum adat tidak ada tempat. Yang ada hanya dong pu aturan, dong pu peta, dong pu kuasa.”
Awan su bilang pagi ini belum bisa langsung kasih matahari. Rintik-rintik hujan memercik bumi leluhur cendrawasih, seolah menutrisi tubuh sekaligus menambah cadangan air bagi manusia yang tengah kehabisan.
Senin pagi, 15 September 2025, sa menuju ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Nabire untuk mengusut kesalahpahaman lokasi kepemilikan tanah di Wanggar Jaya. Menurut catatan pemerintah, dong pu petak-petak su dinamai di sana.
Sampai di kantor, papan “BUKA” sudah tergantung di gerbang, pertanda aktivitas sudah berlangsung. Sa ketok pintu, langsung disambut petugas perempuan.
“Selamat Pagi!”
“Iya selamat pagi, perlu apa?” tanya seorang petugas perempuan berambut lurus dan berkulit putih.
“Sa mo cek letak lokasi tanah!”
“Silahkan ketemu dia di sana,” katanya sambil menunjuk ke petugas lain, laki-laki, juga berkulit putih.
Sa ulangi permintaan yang sama, “Permisi pak, Saya mo cek letak lokasi di Wanggar Jaya”
Dia cek sertifikat itu lembar per lembar, lalu bilang, “Tunggu ya, saya antar ke rekan kerja saya ke dalam.”
Baca Juga : Sekarung Beras di Aimas dan Nasib Ekonomi Papua
Sambil menunggu, sa menoleh ke dinding. Terlihat informasi struktur pengurus kantor dan peran kerja kantor pertanahan Kabupaten Nabire. “Semuanya melulu pendatang, OAP dari bagian pantai tidak lebih dari 5 orang sementara OAP dari pegunungan belum tampak tampil”, spontan kalimat itu muncul di kepala saya.
Dong atur pemilik tanah leluhur
Pukul 10 pagi, masuk seorang paitua, rambut keritingnya keputihan, hitam kulitnya, berpakaian kemeja dan celana jeans, memasuki ruang yang saya tempati.
“Saya mau pastikan lokasi saya. Saya su sampai di Yaro,” katanya sambil menyerahkan sertifikat kepada seorang staf OAP, dengan penuh harapan akan mendapatkan jawaban darinya.
Bapa menanti, tidak lebih dari 5 menit, kembali mendapatkan jawaban, setelah staf perempuan OAP itu berkonsultasi ke dalam ruangan entah dengan siapa.
“Mohon maaf bapa, nama yang ada dalam sertifikat ini namanya banyak orang.” Jawaban itu seolah-olah meruntuhkan harapan paitua itu.
Baca Juga : Kisah Waganak, Pengungsi Difabel dari Gome, Ilaga
Dalam kepala saya sudah mulai terngiang pengetahuan pembagian dan sistem pemetaan hak ulayat. Dalam hati saya, seandainya pengurusan tanah berbasis pada pengetahuan dan hukum adat, anak muda yang melayani itu pasti akan adukan kepada seorang paitua. Karena dianggap punya pengalaman dan penyelesaian pembagian tanah yang telah ada”.
Tapi di sini, di kantor ini, hukum adat tidak ada tempat. Yang ada hanya dong pu aturan, dong pu peta, dong pu kuasa. Pikiran ini terus berontak, “Memang dong yang punya wewenang bagi-bagi atau urus-urus tanah moyang mereka, jadi, mereka yang menduduki kantor ini.”
Kalimat-kalimat itu tidak tenang di kepala, hampir mau memberontak keluar. Seolah kantor pertanahan ini jadi rumah orasi dalam kepala yang menggetarkan.
Oleh : Pigai Wegobi/Yapkema