Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Dari Skripsi di UNIPA Hingga Perjalanan Advokasi ke Jakarta Menolak Operasi Blok Wabu – Sebuah Refleksi Pribadi

Dari Skripsi di UNIPA Hingga Perjalanan Advokasi ke Jakarta Menolak Operasi Blok Wabu – Sebuah Refleksi Pribadi

Tolak Blok Wabu
Tim Advokasi Blok Wabu bertemu langsung dengan Kementerian ESDM untuk menanyakan kejelasan status Blok Wabu dan penyerahan aspirasi menolak eksploitasi Blok Wabu (Dok. Yapkema)

“Teriakan suara Selly adalah sisa dari suara-suara lainnya yang lebih dulu dibungkam moncong senjata. Disegel mati, takkan lagi bergema seperti Selly. Puluhan jiwa tersayat dan telah menjadi debu tanah, yang dipaksakan amunisi-amunisi liar, dikerahkan dalam operasi militer. Semua itu telah menyimpan dan membangun rekaman memori pahit, kumpulan cerita kemanusiaan yang sinis.”

Setiap ruang bumi leluhur Papua telah melulu diisi oleh cerita-cerita tetesan air mata, jeritan berdarah yang belum kering. Sementara itu, pemain-pemain tangan besi terus bertepuk meriah di tampuk kekuasaan. Aparat perampok dipelihara tirani kekuasaan atas nama keamanan nasional tanpa pintu nurani yang bisa dibuka untuk menyelamatkan kemanusiaan.

Dalam iklim yang pedis itu, tepatnya pada tahun 2023, saya sudah diujung dunia pendidikan. Sedikit lagi saya akan menamatkan studi di Kampus Universitas Papua. Pada tahun 2021 sesuai aturan Perguruan Tinggi, saya harus merumuskan skripsi untuk memenuhi syarat kelulusan dan mendapat gelar sarjana akuntansi.

Dalam masa pendidikan di Jurusan Akuntansi itu, saya diajarkan berbagai rumusan untuk menelisik misteri-misteri urusan keuangan. Dari yang paling mudah seperti mengurai manajemen keuangan usaha-usaha menengah kebawah seperti dagang gorengan. Atau mengupas carut-marut dan misteri penggunaan dana desa yang telah membuat banyak warga mengeluh.

Tapi di masa-masa itulah nurani saya mulai merontak. “Tidak boleh orientasi sekedar mencari nilai ijazah, sementara tanah air bangsamu sedang menangis dan dibunuh sana-sini akibat operasi militer yang belum selesai. Kamu tidak terlahir untuk mencari untung melulu dari setiap aktivitas dan tidak ikut menderita dalam penderitaan bersama mereka”.

Sayangnya, di jurusan yang saya pilih itu, saya hanya dididik dengan teori-teori dan pengetahuan untuk mengurai urusan keuangan, laporan-laporan akuntansi saja. Dan pekerjaan itu dibuat terpisah dari kenyataan kemanusiaan, serta upaya-upaya melindungi bumi leluhur yang terengah-engah menuntut penyelamatan.

Baca Juga : Luapan Danau Paniai Perlu Mitigasi, Bukan Sekadar Bantuan Sembako

Apa yang bisa saya buat dari ilmu ekonomi akuntansi ini untuk mengusut konflik senjata yang belum selesai? Pertanyaan inilah yang akhirnya membuat saya memanjangkan masa studi. Saya menambah semester untuk belajar secara pedagogik tentang akuntansi lingkungan sosial dan akuntansi paradigma kritis selama 2 (dua) semester. Dalam masa itu sekaligus saya merumuskan proposal penelitian yang saya jelajahi kedepannya.

Ujung dari studi itu, secercah cahaya mulai bertumbuh dalam nurani. Cahaya itu membentuk kesadaran pengetahuan tentang apa dan bagaimana seharusnya menulis, menerjemahkan situasi konflik dengan pendekatan akuntansi kritis.

Bagi saya, “Blok Wabu” adalah gema yang getarannya merembet hingga pikiran dan perasaan yang menuntut jawaban. Dan topik itulah yang akhirnya menjadi pilihan tema skripsi saya.

Tangisan Selly Selegani menguatkan pilihan

Pilihan menyoroti rencana Blok Wabu semakin dikuatkan, ketika seorang perempuan, Selly Selegani menangis tersedu-sedu di hadapan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua. Dia dengan polos dan jujur menurunkan tangisan yang bercampur doa dan kegelisahan, yang keluar melewati celah-celah pipi hitamnya.

Ia seperti menerangkan derai air sungai Dogabu, Sungai Weyabu, Sungai Kemabu, dan Wabu, Intan Jaya, yang kini ada di antara kegelisahan dan ketakutan akan datangnya senjata merkuri yang mungkin mengendap-endap datang untuk menghantam. Apakah Antam yang akan menghantam atau Mind ID? Atau siapapun dengan wajah lainnya?

Setiap seruan ia tunjukkan seperti seruan-seruan kicauan burung-burung,
nyanyian unggas-unggas yang datang dari lingkaran Gunung Bula, Gunung Gergaji atau Bainggela yang ada dibelakang Gunung Biji. Mereka semua dilupakan oleh keserakahan dan kesombongan manusia. Mereka diincar demi sekedar harapan akan akumulasi untung dari deposit kandungan emas.

Teriakan suara Selly adalah sisa dari suara-suara lainnya yang lebih dulu dibungkam moncong senjata. Disegel mati, takkan lagi bergema seperti Selly. Puluhan jiwa tersayat dan telah menjadi debu tanah, yang dipaksakan amunisi-amunisi liar, dikerahkan dalam operasi militer. Semua itu telah menyimpan dan membangun rekaman memori pahit, kumpulan cerita kemanusiaan yang sinis.

Kajian kritis skripsi tidak lagi cukup

Saya sudah melihat, mendengar dan merasakan getaran minta tolong itu dari seberang lautan, pada kepala burung Cendrawasih, di Kampus Universitas Papua Manokwari, tahun 2021-2022. Kejadian itu bukan adegan sinetron dan lagu Indonesia Raya yang menghibur dalam menikmati hasil juang dan tanda jasa masa lalu bagi manusia jaman kini.

Panggilan itu adalah peringatan moral, tanggung jawab generasi bangsa dan setanah air. Menggali dan membongkarnya melalui skripsi adalah salah satu langkah yang bisa menjembatani untuk menyambung lidah, menerjemahkan kedalam bahasa akademisi, agar suara-suara yang diabaikan dapat dihitung dan diangkat.

Inilah alasan saya memilih judul skripsi: “Kajian Akuntansi Kritis: Analisis Eksplorasi Perusahaan Tambang Intan Jaya Papua (Studi kasus Eksplorasi Blok Wabu)”.

Mengejar panggilan ini bukan tanpa masalah. Tantangan pertama yang saya hadapi justru lahir dari lingkungan akademis, dari mulut dosen-dosen sendiri. “Lukas Enembe seorang gubernur saja dapat ancaman apalagi kamu Marsel”. Ada juga yang mendorong saya mengubah judul dan mengambil kasus lainnya: “Kamu ambil judul yang cukup bisa selesaikan cepat dan pendidikan bisa selesai cepat”.

Tapi satu kalimat keluar dari mulut saya dengan penuh kesadaran: “Saya tahu dan sadar semua itu, jauh sebelum memilih kasus ini. Tapi saya memilih kasus itu. ‘Jika Marsel diancam, diteror ataupun sampai dibunuh, Marsel akan menerima sebagai bagian dari ajaran mengikuti Yesus. Yesus tahu dan sadar dari pewartaanNya akan mendapatkan ancaman hingga disalibkan, namun ia memilih jalan itu'”.

Tantangan lainnya juga datang silih berganti. Gangguan kesehatan, malaria tropika, kehilangan kesadaran hingga gangguan pikiran. Sebulan saya diopname di Rumah Sakit Umum Nabire hingga saya naik ke Paniai tahun 2022. Ditengah keadaan ini, saya terus memeluk mimpi. Yang lebih sakit bukanlah sakit yang saya alami, tapi masa depan pemilik ulayat gunung Bula dan semua yang akan terdampak.

Karena itulah dalam skripsi saya menegaskan keutamaan tujuan adalah semata-mata untuk upaya membawa perubahan dari konflik yang diduga atas rencana eksploitasi Blok Wabu. Tujuan ini tidak sebatas mengkaji untuk penilaian prasyarat gelar dan menjadi kertas akademik yang akan dimangsa semut di ruang perpustakaan kampus Universitas Papua.

Tujuan dari kajian kritis itu adalah selalu berujung dan tiba pada sebuah kondisi perubahan dari keadaan konflik yang terjadi. Critical thinking hadir untuk mengintervensi keadaan dari yang sebelumnya menjadi keadaan lain yang diidealkan. Karena itu sesuai dengan pendekatan saya dalam menulis skripsi secara kritis, maka saya pun dihadapkan pada upaya mencari penyelesaian berdasarkan temuan-temuan dari kajian itu.

Menolak Blok Wabu di meja Jakarta

Usai wisuda, tanggung jawab saya belum selesai. Secara prinsip belum bisa disebut kajian kritis, jika belum ada perubahan yang bisa didapatkan dari kajian saya itu

Dan dengan sadar saya menawarkan diri terlibat advokasi kepada mereka yang saya kenal. Entahlah. Kawan-kawan mahasiswa sudah ambil langkah konsolidasi sejak Natal hingga Januari 2024. Saya mendengar ketika sedang ada dan mengelola Kebun di Obano Paniai Barat.

Pekerjaan saya tinggalkan, bergeser ke Nabire. “Kaka Marsel kami butuh keterlibatan”. Pernyataan ini dilemparkan untuk mengajak saya bergabung. Kenapa tidak, sudah saya tunggu-tunggu sejak sebelumnya.

Di Nabire, Papua Tengah, tanggal 19 Januari 2024 telah mengukir sejarah gerakan aksi masa menolak eksploitasi Blok Wabu. Provinsi yang baru lahir ini telah digoyang oleh aksi masa yang cukup banyak.

Gelombang gerakan menolak itu kembali terjadi. 17 Juli 2025 seluruh mahasiswa asal Intan Jaya berkumpul dan melangsungkan aksi susulan jilid kedua. Gelombang ini tidak hanya dari Intan Jaya. Seluruh mahasiswa akar rumput dari Papua Tengah yang sedang di Nabire menunjukkan sikap menolak tegas rencana eksploitasi Blok Wabu.

Hasil gelombang gerakan inilah yang melahirkan Tim Advokasi Blok Wabu. Kawan-kawan memilih dan memutuskan sepuluh orang, termasuk saya, sebagai perwakilan yang mengadvokasi penolakan eksploitasi Blok Wabu ke Jakarta. Di dalam tim ini, saya dipilih untuk meriset dan merumuskan aspirasi. Dari hasil kerja tersebut, terbit satu laporan aspirasi dengan judul, “Blok Wabu Itu Saya: Menolak Eksploitasi Blok Wabu”.

Baca Juga : Ketika Tanah Moyang Diatur Negara

Ujung dari Bulan September 2025, informasi tergantung di grup WhatsApp bahwa jadwal tim advokasi untuk berangkat ke Jakarta sudah ada. Kalimat itu mengajak saya untuk harus bersiap-siap dan merapat turun ke Nabire. Sementara saya sedang bertugas di Dogiyai dalam kegiatan Ekonomi Owadaa yang sedang dikerjakan oleh YAPKEMA Papua.

1 Oktober 2025, akhirnya tim advokasi berangkat ke Jakarta. Sampai di sana kawan-kawan berbagi peran. Tanggal 2 Oktober 2025 kami bertemu langsung Kementerian ESDM untuk menanyakan kejelasan status Blok Wabu dan penyerahan aspirasi menolak eksploitasi Blok Wabu kepada Menteri ESDM RI. Esok harinya aspirasi kami terkait turut dibawa kehadapan DPD RI dan kepada Komnas HAM RI.

Waktu itu, kalimat Menteri ESDM RI saat menjawab pertanyaan kami terkait eksploitasi Wabu, adalah: “Sementara, Blok Wabu yang kamu kenal sebagai Mama atau gadis itu belum dipinang oleh siapapun, sehingga belum ada Izin Usaha Pertambangan Khusus yang dikeluarkan,” bagitu kata Menteri ESDM. Kemudian kalimat lainnya dia bilang: “Surat penetapan wilayah izin usaha pertambangan khusus akan dicabut setelah ditemukannya.”

Semoga penyampaian menteri ini mendekati dari suara-suara yang terabaikan selama ini. Suara Selly kembali bergema menguasai ruang Menteri ESDM RI. Akhirnya mengetok telinga suara penolakan akar rumput, tangisan, derai darah telah menjadi debu, yang masih mengungsi kemana-mana, dan yang merasa terancam atas ekploitasi tanah air tercinta, Blok Wabu.

Oleh : Pigai Wegobi/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *