Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Beranda>Cerita Dari Lapangan>Bertubi-tubi Anak Papua Mati Muda, Dana Otsus Siapa Nikmati?

Bertubi-tubi Anak Papua Mati Muda, Dana Otsus Siapa Nikmati?

Pewarta sedang memberkati salib Weliandina pada ujung ibadah pemakaman
Pewarta sedang memberkati salib Weliandina pada ujung ibadah pemakaman

Saya menulis tulisan ini sebagai saksi, sekaligus pendamping pasien (yang kemudian meninggal dunia), Weliandina, dalam menuntut hak-haknya sebagai Orang Asli Papua untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang dilindungi dan diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, baik jilid pertama maupun jilid kedua. Di sisi lain, tulisan ini menjadi semacam rekaman suara Weliandina, yang menanggapi dan mengkritisi pelayanan kesehatan yang ada.

Apakah Otsus menjadi pahlawan yang dapat menyelamatkan nyawa Orang Asli Papua? Setidaknya, pertanyaan inilah yang tulisan ini coba jawab, khususnya melalui praktik di lapangan dalam kasus Weliandina.

Weliandina telah dikebumikan di Enarotali, Paniai, Papua Tengah, pada tanggal 2 Agustus 2025, pukul 10.00. Kematiannya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, juga bagi masyarakat karena ia adalah seorang abdi negara yang mengajar sebagai guru di dua sekolah di Paniai, sekaligus seorang anggota Gereja Katolik Roma.

Nampak salib diletakkan di atas kuburan Weliandina usai ibadah pemakaman
Nampak salib diletakkan di atas kuburan Weliandina usai ibadah pemakaman

Mencari Keselamatan ke Puskesmas

Weliandina adalah salah satu Orang Asli Papua yang menjadi pasien dan kemudian meninggal pada pukul 21.54 Waktu Papua, 31 Juli 2025, di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah. Ia mulai merasakan gejala sakit dan menderita selama dua minggu sebelum berobat.

Pilihan untuk segera ke rumah sakit terdekat sebenarnya sudah ada. Namun, biaya pengobatan menjadi kendala utama yang menghalanginya. Alasan tersebut membatasi akses pelayanan kesehatan baginya pada saat itu.

Weliandina menghabiskan hari-harinya di rumah selama lebih dari dua minggu. Namun, keadaan kesehatannya tidak kunjung membaik. Kondisinya justru semakin kritis: ia tak bisa lagi bertahan lama, daya tahan tubuhnya menurun, sulit buang air kecil, nafsu makan hilang, tubuhnya mulai kurus, dan kulitnya seakan menempel pada tulang.

Ketika saya menyaksikan itu, saya harus segera mendampinginya, meskipun kami sama sekali belum mempunyai biaya berobat. Namun, satu pemikiran muncul di benak saya: rumah sakit seharusnya mendapatkan suntikan dana Otonomi Khusus yang diperuntukkan bagi Orang Asli Papua. Terlebih lagi, pasien seperti Weliandina, yang serba kekurangan, semestinya mendapat perhatian khusus dan serius.

Pada 24 Juli 2025, saya mendampingi Weliandina untuk berobat ke Puskesmas Wonorejo, Nabire. Pasien dimintai biaya administrasi sebesar Rp20.000 setelah mendapatkan kartu pendaftaran berobat.

“Mohon maaf, Pak, saya belum punya uang untuk membayar,” kata saya kepada petugas yang melayani pada saat itu.

Weliandina sedang duduk menunggu panggilan dari laboratorium untuk mengetahui hasil pemeriksaan penyakitnya. Laboratorium kesehatan memproses rujukan berdasarkan hasil konsultasi dari dokter di bagian umum. Menurut penjelasan medis, Weliandina menderita Sifilis dan Gula. Penyakit tersebut bisa ditangani dengan obat.

Berdasarkan keterangan medis, puskesmas tidak memiliki stok obat untuk penyakit tersebut. Ia dirujuk untuk membeli obat di apotek yang telah ditentukan.

“Beli obatnya di klinik, lalu datang ke sini besok pagi untuk suntik,” kata seorang suster yang memberikan hasil pemeriksaan laboratorium.

Tanpa banyak bicara, saya menjawab, “Iya, Suster.” Jawaban itu terasa berat diucapkan, karena Weliandina pun tahu kami tidak punya uang sepeser pun. Dalam perjalanan pulang, Weliandina berseru kepada saya: “Ini bagaimana, tidak ada uang untuk beli obat ini.”

Keesokan harinya (25 Juli 2025), dua orang kerabat keluarga datang dan memberikan sumbangan untuk biaya obat sebesar Rp200.000. Sesuai rujukan, saya pergi untuk membeli obatnya dengan biaya Rp130.000. Ada syarat bahwa obat tersebut harus langsung dipakai pada hari itu; jika lebih dari sehari, harus disimpan di dalam kulkas. Sementara itu, aktivitas puskesmas sedang libur dan kami belum punya kulkas untuk menyimpannya. Alhasil, obat tidak jadi dibeli.

Mencari Keselamatan ke RSUD Nabire

Pengobatan tidak bisa lagi mengandalkan puskesmas. Menyadari kondisi kesehatannya semakin kritis, pada tanggal 27 Juli 2025, Weliandina dibawa ke RSUD Nabire menggunakan taksi dengan biaya Rp200.000 yang dibayar oleh seorang kawannya.

Ia diinfus di ruang IGD. dr. Lihana mengeluarkan resep, namun salah satu obatnya, yaitu obat diare, tidak tersedia di apotek IGD. Obat tersebut diganti dengan yang lain di luar resep setelah berkonsultasi kembali dengan dokter.

Empat jam kemudian, Weliandina dipindahkan ke ruang perawatan wanita, kamar nomor 15. Keesokan harinya, kami mendapat keterangan dari dokter bahwa ginjal Weliandina telah mengalami kerusakan parah.

“Memang berat, ginjalnya rusak sekaligus, dia (ginjal) tidak bisa diperbaiki. Karena racunnya itu 330 (lebih dari normalnya), normalnya itu di bawah 50. Memang begitu e, ada masalah dengan ginjalnya. Kencingnya tidak keluar, memang ada masalah dengan ginjalnya,” kata dokter yang menganalisis hasil pemeriksaan kesehatan Weliandina di ruang perempuan pada Senin (28 Juli 2025) pagi, pukul 10.58 Waktu Papua.

Menurut dokter tersebut, kondisi ginjal yang kritis akan membuat keadaan Weliandina semakin parah. Dan benar, dalam dua hari berikutnya, nafsu makan dan minumnya menurun, termasuk untuk obat-obatan yang didapatkan. Sementara itu, ia sudah tidak bisa buang air lagi, napasnya mulai sesak, kemampuan berpikirnya terganggu, dan ia tidak bisa lagi bergerak sendiri.

Dari beberapa obat yang diresepkan pihak medis, stoknya belum tersedia di apotek RSUD. Keluarga diminta membeli obat tersebut di apotek luar rumah sakit.

Obat-obatan yang tersedia di rumah sakit ataupun yang disarankan untuk dibeli di luar belum mampu mengatasi penyakit yang diderita Weliandina. Sejak 29 Juli 2025, Weliandina telah kehilangan kesadarannya sebagai manusia normal: ia tidak bisa berpikir, berkomunikasi, maupun mengonsumsi makanan dan minuman, hingga akhirnya ia dipasangi selang pembuangan air kencing dan oksigen.

Upaya-upaya penanganan medis belum cukup untuk menahan laju penyakit dan memulihkan kesehatan Weliandina. Pada hari Kamis, 31 Juli 2025, pukul 21.54 Waktu Papua, ia meninggal dunia. Jenazahnya dipulangkan menggunakan mobil jenazah ke Wonorejo. Untuk biaya antar pulang jenazah, kami dimintai biaya administrasi.

“Sekarang pemimpin rumah sakitnya baru, jadi ada biaya admin lagi,” kata si pengemudi. Namun, biaya itu tidak kami bayar, dengan alasan bahwa biaya semacam itu seharusnya ditanggung oleh dana Otonomi Khusus Papua.

Pada tanggal 1 Agustus, jenazah Weliandina dipulangkan ke rumah orang tuanya di Enarotali, Paniai. Menurut keluarga, tubuhnya harus diberi formalin untuk mencegah pembusukan. Pagi harinya, kami mengunjungi kamar jenazah RSUD Nabire untuk meminta formalin.

“Formalin tidak ada, kebetulan stok kami sedang habis,” kata petugas di ruang jenazah pada pukul 09.01 Waktu Papua. Akhirnya, keluarga membelinya di apotek.

Dana Otsus Tidak Mencukupi Kebutuhan Pasien

Weliandina adalah contoh dari pasien—dan korban meninggal—yang berobat di fasilitas pelayanan kesehatan yang konon mendapatkan dana Otonomi Khusus Papua. Rumah sakit ataupun puskesmas memang telah menyediakan beberapa fasilitas yang bertuliskan bantuan dana Otonomi Khusus Papua dari beberapa tahun lalu. Namun, penggunanya bukan hanya Orang Asli Papua.

WC umum di ruangan tempat Weliandina dirawat telah rusak pada bagian bawah pintunya. Akibatnya, bau dari kamar mandi tidak dapat dibendung. Selain itu, sabun mandi dan perlengkapan lainnya tidak tersedia, sehingga harus disiapkan sendiri oleh pasien.

Sementara itu, ruangan yang ditempati pasien—cukup untuk tiga orang—memiliki lemari untuk makanan atau barang bawaan. Namun, kain pembatas antar pasien tidak tersedia, hanya tiang penggantungnya yang tersisa, sehingga mengganggu privasi pasien yang hendak mengganti pakaian. Ruangan tersebut juga tidak memiliki kipas angin ataupun AC; oleh karenanya, pasien, termasuk Weliandina, harus membelinya sendiri di pasar lokal.

Selain itu, setiap kali mencicipi makanan yang diberikan, Weliandina selalu mengeluh, “Kenapa makanan ini yang dikasih terus?” Untuk memberinya makanan lain, keluarga harus membelikannya dari luar RSUD. Air minum pun sama sekali tidak disediakan oleh rumah sakit. Tidak hanya pasien, keluarga yang menjaga pun harus mencari makan sendiri.

Weliandina Mati dalam Otsus untuk OAP

Otonomi Khusus dipaksakan oleh Jakarta sebagai jalan keluar bagi Orang Asli Papua, baik pada periode (jilid) pertama maupun periode kedua. Salah satunya, dana Otsus dianggarkan untuk menangani kesehatan Orang Asli Papua (OAP). Dananya terus bergulir setiap kali pencairan dengan penegasan “Atas Nama Kesehatan Orang Asli Papua”.

Akses pelayanan kesehatan bagi Orang Asli Papua sama sekali belum terasa “khusus”, meskipun bangunan dan fasilitasnya disediakan atas nama dana Otonomi Khusus. Faktanya, pengguna fasilitas tersebut yang non-OAP juga tidak pernah absen menggunakannya. Bahkan dalam pelayanan obat-obatan di apotek rumah sakit pun tidak ada bedanya.

Setiap OAP berobat, setidaknya akan mengeluarkan biaya transportasi, meskipun rumah sakit memiliki lebih dari tiga mobil ambulans. Sampai di rumah sakit, harus membayar administrasi. Sampai di laboratorium, harus mengeluarkan biaya pemeriksaan. Sampai di apotek, mereka harus mengeluarkan biaya lagi, sering kali dengan modus stok obat di apotek rumah sakit sengaja dikosongkan dan dialihkan ke apotek-apotek di luar.

Bahkan, pelayanan di klinik-klinik swasta terasa jauh lebih baik daripada di rumah sakit yang disiapkan pemerintah. Saat puskesmas libur sehingga Weliandina tidak bisa berobat, klinik-klinik swasta tetap buka. Banyak pasien yang mengantre di sana. Sedangkan Weliandina, yang tidak punya biaya, harus menanggung rasa sakit dan membiarkan penyakitnya menggerogoti, seolah pasrah pada nasibnya yang malang.

Apakah ini yang disebut dana Otonomi Khusus Papua yang diperuntukkan bagi OAP? Dana Otsus ini sebenarnya dikhususkan untuk siapa? Adakah Otsus bisa mendatangkan keadilan bagi mereka yang lemah dan tidak punya?

Oleh : Wegobi/Yapkema

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *