
Nabire darurat Begal?
Sebagai pekerja rumah tangga non upah yang harus antar jemput anak sekolah, belanja ini itu untuk asap dapur, tentunya situasi ini bikin cemas.
Nabire (dibuat) cemas.
“Begal ini de mau rampas motor, hape atau isi noken kah? Atau dong cari uang saja, baru kenapa ‘tebas-tebas’ orang sembarang? Kenapa tidak ambil saja barangnya ka?”
“Itu dia biasa operasi di mana kah? Jam-jam berapa? Orang mana kah? Mabuk kah tidak?”
Dan seterusnya. Ditambah minyak bumbu lainnya yang membuat cerita kasus pembegalan dan derita korban makin licin, pedis, lalu meluncur viral.
Baru kebenarannya apa? kitong tidak tahu.
Yang kitong tahu hanyalah waspada.
Kalau kerja lebih baik pergi pulang bermotor sama-sama. Lihat kiri kanan, awasi spion, hindari kawasan sepi dan jalan malam, motor jangan kelihatan glowing. Dan lain-lain. Adaptasi namanya.
Baru sampai kapan?
Ada lagi yang meminta agar polisi sigap, patroli di kawasan rawan, bikin pos-pos polisi, razia senjata tajam, dll.
Kategori kawasan rawan itu apa?
Anggaran bikin pos-pos polisi darimana?
Razia sajam mau sampai kapan?
Apa dorang tahu siapa (potensi) pelaku-pelakunya?
Atau hanya atas dasar curiga karena stigma dan prasangka tertentu?
Ada juga aspirasi mengaktifkan patroli komunitas, siskamling, karang taruna dan sejenisnya. Katanya bahkan ada anggaranya di daftar anggaran pemerintah daerah. Nah, itu bagaimana lagi itu?
Nabire ini kota yang tersegregasi, terpisah-pisah, terkotak-kotak, ter-ghetto-kan. Warga hidup di kawasan-kawasan sesuku, se-ras, seasal, tapi tak sepenanggungan. Dan hubungan-hubungan lintas warga hanya terjadi formal di sekolah-sekolah, gereja, mesjid, pasar tapi nyaris jarang di perkumpulan-perkumpulan atau lintas solidaritas. Mungkin hanya di beberapa tempat siskamling lintas suku bisa terjadi.
Sekali lagi, Nabire ini kota segregasi.
Di manapun tempat di dunia ini yang masyarakatnya hidup dalam segregasi maka angka kejahatan sulit dikendalikan. Kerawanan konflik sosial tinggi karena warga hidup dalam prasangka yang dipelihara.
Kembali ke perbegalan.
Yang saya tahu begal-membegal ini bukan isu khas Nabire. Sebagai orang migran Nabire asal sumatera, jalan lintas sumatera itu paling terkenal dengan begal. Ahli dan tangkas sekali para begal itu. Setidaknya jalur Lampung tengah dan timur, Palembang, Jambi, Langkat pegang kendali perbegalan. Coba cari di google, beritanya banyak.
Truk dikawal, pengendara dikawal, adalah beberapa jalan keluar sesaat yang dilakukan. Namun sampai saat ini, masalahnya tidak ada jalan keluar.
Konon, begal adalah “mata pencaharian” tertua di dunia beradab, sejajar dengan “profesi” mata-mata, sekuriti (keamanan) dan pelacuran. Jenis-jenis pekerjaan ini tumbuh subur khususnya saat dunia beradab semakin timpang. Artinya: yang kaya makin kaya, yang susah dan miskin makin banyak.
Apa? Mata pencaharian? Iya, bisa dibilang begitu karena tujuannya kan untuk mendapatkan uang atau barang berharga.
Dan mendapatkan uang itu susah. Peras keringat banting tulang belum tentu menghasilkan uang yang cukup atau setimpal dengan tenaga yang dikeluarkan. Apalagi jika kebijakan para pemimpin negeri tidak memprioritaskan peningkatan pendapatan warganya. Jadi ya warga akan ada yang memilih jalan pintas untuk dapat uang. Daya beli rendah maka kriminalitas naik. Begitu sudah hukum ekonominya.
Dalam hal jalan pintas, kita boleh bertanya: Apakah dilakukan dengan merampas hak orang lain? Atau menghabiskan nyawa orang lain? Apakah merugikan orang banyak dan menguntungkan hanya orang tertentu? Demikian cara kita menilainya.
Kalau menilainya dengan cara demikian, maka sebetulnya ada lagi yang disebut begal-begal legal jumlahnya jauh lebih banyak. Uang yang dirampok triliunan dan penampilan mereka mengkilap, keren-keren. Senjata mereka boleh jadi tidak langsung melukai, tetapi memiskinkan rakyat seumur hidup.
Kembali lagi ke soal begal Nabire.
Baru kenapa kira-kira begal mulai ramai belakangan ini? (Kalau soal palang memalang boleh, itu soal menyejarah, kitong tahu dan dilakukan pun terang-terangan, pelakunya tidak melarikan diri).
Dan kenapa pelaku kerap disangkakan beretnis tertentu?
Bukankah di Nabire ini polisi paling sering sweeping dan razia? Kenapa warga masih rasa tidak aman?
Begal adalah kriminalitas. Jelas.
Tetapi tidak semua pelaku kriminalitas adalah kriminal. Ada juga by design atau cipta kondisi.
Seperti di jaman orde baru preman-preman dipelihara negara untuk menciptakan suasana teror di kalangan warga yang tidak puas atas kondisi. Lalu tiba-tiba muncul pembunuhan misterius (petrus) yang memburu para preman itu lalu mereka dikarungkan.
Penemuan mayat tak dikenal tanpa kepala, ataupun kepala saja tanpa tubuh, ramai di masa itu. Coba saja klik ‘petrus‘ di google kalau ingin tahu.
Jadi kitong ini, warga biasa-biasa, ada bingung dengan kondisi dan situasi ini. Yang pasti hidup rakyat biasa sedang susah. Pembegalan ini membuat orang-orang kecil yang cari hidup dengan jualan, pakai motor butut atau kredit makin terancam. Mama-mama Papua yg harus pikul sayur pagi buta untuk dibawa ke pasar-pasar makin susah dapat ojek. Sementara ojek-ojek sudah terancam razia surat-surat, juga terancam begal.
Dipepet kiri kanan.
Entahlah.
Mungkin nasib rakyat susah itu taputar-putar begini saja kah? Tidak tau apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan terus menerus dipaksa menelan ludahnya sendiri untuk beradaptasi.
Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Oleh : Zely/Yapkema