Jayapura, Jubi – Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan, Dainius Puras setelah menyelesaikan kunjungan singkatnya ke beberapa Provinsi di Indonesia termasuk Papua, mengaku khawatir atas tingkat penyebaran HIV/AIDS di Papua.
Indonesia menurut Puras memiliki prevalensi HIV/AIDS yang relatif rendah namun infeksi baru terus meningkat di antara populasi kunci tertentu yang masih mengalami stigma dan diskriminasi, termasuk di tempat layanan kesehatan.
“Saya mengkhawatirkan status kesehatan suku-suku di Papua, yang memiliki risiko terinfeksi HIV/AIDS dua kali lebih besar dibandingkan populasi lainnya dengan jumlah infeksi baru yang terus meningkat,” ujarnya dalam dalam pernyataan pers tertanggal 4 April 2017 di situs UN Office of High Comissioner Human Rights.
Ancaman kematian
Puras mencatat secara khusus bahwa populasi kunci yang terpapar risiko HIV/AIDS lebih besar serta menghadapi hambatan besar pula, seperti stigma, dan diskriminasi, baik dalam hukum dan praktik penegakannya, ketika mengakses pengobatan dan layanan.
Populasi kunci tersebut khususnya laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki, tetapi juga di antara pekerja seks serta klien mereka, waria, dan para pengguna napza.
“Saya mengunjungi Jayapura, dan mempelajari bahwa masyarakat asli Papua memiliki risiko dua kali lebih besar terinfeksi HIV/AIDS dibandingkan populasi lainnya,” ujarnya
Orang Asli Papua (OAP) menurutnya menghadapi tantangan berat dalam tes HIV, pengobatannya, dan layanan terkait kesehatan baik dalam akses, tetapi juga dalam efektivitas respons yang dikarenakan faktor historis, sosio-ekonomi, dan budaya yang tidak menguntungkan.
Puras meminta agar situasi HIV/AIDS yang kritis di Papua mendapatkan perhatian dan upaya khusus dari semua pemangku kepentingan untuk membangun kepercayaan di antara penyedia dan pengguna layanan, tetapi juga untuk meningkatkan investasi di sektor kesehatan, dan meningkatkan akses terhadap pengobatan dan layanan yang sensitif budaya.
Seperti diberitakan Jubi awal Maret lalu (9/3) menurut catatan Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) yang telah melakukan penjangkauan untuk layanan HIV/AIDS di wilayah Meepago dalam kurun waktu 1999 hingga 2017 terdapat kurang lebih 20.000 penderita HIV/AIDS yang terancam meninggal pasca berhentinya bantuan luar negeri (khususnya Australia) untuk program-program HIV/AIDS.
“(Padahal dengan adanya bantuan itu) Sekitar 40.000 orang sudah berupaya kami selamatkan melalui penguatan kapasitas medis,” ujar Direktur eksekutif Yapkema, Hanok Herison Pigai.
Ance Boma, bidang penyuluhan HIV/AIDS Yapkema Paniai mengatakan persoalan tersebut menyebar di pelosok-pelosok, “dan kami memiliki data-data kematian itu,” kata Boma.
Sementara penanggung jawab Poliklinik St. Rafael Paroki Kristus Sahabat Kita (KSK) Bukit Meriam, Nabire, dr. Pingki Pancawardani mengatakan, hampir tiap saat pasien yang berobat di poliklinik tersebut ialah Orang Asli Papua (OAP).
“OAP lebih banyak datang ke sini dan itu hampir tiap saat dengan berbagai keluhan, terutama usia produktif,” katanya kepada Jubi di ruang kerjanya, Selasa (21/3).
Dikatakan, kasus penularan penyakit HIV/AIDS di Papua, terutama Nabire, semakin mengkhawatirkan dan tidak terkendali. Kondisi ini mulai mengancam keberlangsungan hidup suku asli di Papua.
Kemunduran
Secara keseluruhan, cakupan terapi anti retroviral (Anti- retroviral therapy/ART) di Indonesia menurut catatan Puras adalah yang terendah di Asia, dan keberlanjutannya tetap menjadi suatu tantangan, khususnya ketika lebih dari setengah dana tersebut berasal dari pihak asing.
“Selama kunjungan saya, saya diberi tahu bahwa Komisi Penangulangan AIDS Nasional akan berhenti beroperasi mulai tahun depan, dan fungsi serta tanggung jawabnya akan diambil alih oleh Kementrian Kesehatan. Oleh sebab itu, perlu adan badan independen yang bisa memantau situasi epidemi,” kata dia.
Puras mendesak pihak berwenang untuk mempertimbangkan ulang keputusan tersebut dan mengembalikan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dengan mandat independen yang kuat dan sumberdaya yang memadai untuk memerangi penyakit ini secara efektif dan mencapai target menghapus AIDS sebelum tahun 2030.
Menutup kunjungannya ke bebeberapa fasilitas kesehatan dan bertemu para petugas kesehatan dan masyarakat sipil di Jakarta, Padang, Labuan Bajo and Jayapura, Puras memperingatkan bahwa meskipun Indonesia sudah melakukan berbagai upaya yang baik untuk meningkatkan layanan, namun tanpa mengatasi tantangan, tujuan ambisius tidak bisa dicapai.(*)
Sumber: Tabloidjubi.com