Menanam kopi arabika, bagi warga di sejumlah wilayah Provinsi Papua, sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Sebut saja di Kabupaten Nabire dan Paniai.
Sejak diperkenalkan oleh misionaris dan petugas kesehatan (mantri) dari Belanda pada era 60-an, kopi arabika menjadi tanaman yang dapat ditemui hampir di setiap halaman rumah penduduk.
Mengapa demikian? Alasannya sederhana. Kopi arabika mudah ditanam karena termasuk kopi tradisional dan dapat dipanen tiga kali dalam setahun. Selain itu, nilai jual kopi arabika cukup tinggi karena dianggap paling enak rasanya dibandingkan jenis kopi lainnya, seperti Robusta.
Saat ini, harga kopi arabika yang menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia dijual sekitar Rp 28.000 hingga Rp 30.000 per kilogram. Bahkan untuk jenis premium, harga kopi arabika bisa mencapai Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per kilogram.
Awalnya, warga Nabire dan Paniai begitu bersemangat menanam kopi arabika. Apalagi, hasil kopi warga ditampung oleh keusukupan setempat kemudian dipasarkan ke beberapa produsen kopi bubuk, baik di Jakarta maupun langsung diekspor ke negara asal misionaris, seperti Belanda, Inggris dan Australia.
Namun sejak para misionaris dan mantri meninggalkan tanah Papua, kopi arabika hampir tak memiliki nilai jual karena ketiadaan pembeli. Lambat-laun, kopi arabika hanya menjadi tanaman penghias halaman rumah warga dan dibiarkan tumbuh tanpa perawatan.
Sumber: yapkema.wordpress.com.